Lihat ke Halaman Asli

Kasus Egy, Human Error atau Mental Error?

Diperbarui: 1 Desember 2023   23:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa hari ini viral sebuah video yang memperlihatkan seorang anak laki-laki menangis di pelukan ibunya. Egy, yang merupakan nama panggilan dari Giyats Gajaksahda merupakan peserta lomba renang tingkat SD yang diselenggarakan dalam rangka Pekan Olah Raga Pelajar Daerah (POPDA) kabupaten Sleman Yogyakarta.

Dalam video tersebut terdapat capture tulisan, gagal juara karena dicurangi panitian, yang disertai pula bukti video yang menayangkan detik-detik peserta lomba renang mencapai garis finis. 

Terlihat jelas dalam video yang memperlihatkan Egy menyentuh garis finis kedua yang jaraknya hanya sepersekian detik dari juara pertama yang posisinya paling dekat dengan perekam video. Di belakang Egy, yang konon dinobatkan sebagai juara 2 dan 3 berjarak cukup jauh di belakang Egy.

Masalah ini memang sudah dinyatakan selesai setelah Egy akhirnya diberikan pengakuan sebagai juara dua setelah viral, tetapi menyisakan tanda tanya tentang integritas panitia lomba tersebut. Refleksi dari kasus ini perlu dilakukan, mengingat fenomena kecurangan panitia sebenarnya bukan hal asing di dunia olah raga dan kemasyarakatan kita.

Human Error atau Mental Error

Melihat jarak peserta yang dinobatkan sebagai juara 2 dan 3 dalam video yang terpaut cukup jauh, hampir mustahil bila penetapan juara diakibatkan kesalahan pencatatan (human error). Mustahil panitia tidak tahu peserta mana yang seharusnya menjadi juara dan tidak, tetapi faktanya, pengumuman hasil lomba berbeda dari fakta di lapangan.

Hal ini memperlihatkan penetapan juara dengan mengabaikan juara yang sebenarnya sangat mungkin merupakan kesengajaan (mental error). Apalagi orang tua Egy menyatakan sudah menyampaikan protes dengan menunjukkan video rekaman perlombaan. Itu sebabnya menjadi aneh bila panitia tidak mempertimbangkannya dalam mengambil keputusan, karena menentukan juara pada lomba ini relatif mudah, cukup dengan mata telanjang, kecuali bila ada selisih waktu yang krusial. 

Alasan bahwa yang berhak protes hanyalah offisial merupakan alasan birokratis dan mengada-ada untuk menutup celah protes. Mereka dapat dengan mudah berlindung di balik alibi hasil technical meeting atau semacamnya, tapi tidak dapat menyembunyikan fakta tentang lemahnya integritas panitia di arena lomba. 

Padahal posisi mereka adalah orang-orang tua, bahkan sangat mungkin terdiri dari para guru, mengingat peserta lomba adalah kalangan pelajar sekolah dasar. Mereka yang seharusnya mengajarkan fairness dan sportivitas melalui olah raga justeru mengajarkan kecurangan di depan mata.

Bahkan setelah kasus ini viral, konon mereka tidak tergerak untuk memberikan respon semestinya dan baru mengambil sikap setelah menteri pemuda dan olah raga turun tangan. Ini memperlihatkan rendahnya tanggung jawab terhadap apa yang seharusnya di bawah tanggung jawabnya. 

Penyelesaian masalah “secara damai” dan kekeluargaan menjadikan fenomena ini menjadi gelap untuk dapat diungkap, tetapi sedikit banyak membuka mata betapa kecurangan-kecurangan semacam ini sebenarnya hal yang sangat lazim terjadi, bukan hanya pada lomba renang saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline