Lihat ke Halaman Asli

Risma dan Wajah Asli PDIP Surabaya

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_323354" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/02/02/1352112/PDI-P.Mulai.Perhitungkan.Risma "][/caption]

Heboh soal pengunduran diri Tri Rismaharini dari jabatan Wali Kota Surabaya memunculkan sejumlah tanya dari masyarakat mengenai apa penyebabnya. Banyak dugaan mengemuka mulai dari kemungkinan adanya tekanan dari gubernur, hingga tekanan dari kalangan DPRD Surabaya sendiri.

Gonjang-ganjing tersebut telah terjawab oleh penegasan DPP PDIP yang menyatakan penyebabnya justeru tekanan dari internal PDIP sendiri. Ambisi kekuasaan membabi-buta para fungsionaris PDIP sendirilah yang justeru membuat wali kota dengan segudang prestasi itu tertekan dan merasa jalan sendirian.

Menyimak kembali penolakan politisi PDIP di awal pencalonan Risma sebagai wali kota memperlihatkan betapa buruknya orientasi para elit partai pada usaha mempertahankan status quo. Tekanan dari internal PDIP bukan hal baru, sebab sejak awal pencalonannya, Risma sebenarnya tidak dikehendaki oleh PDIP Surabaya. Bahkan beberapa bulan setelah terpilih sebagai wali kota, PDIP justeru menjadi motor politik yang menggiring partai-partai lain yang nota bene merupakan rival-rival politiknya, untuk "mengerjai" wali kota yang diusung oleh partainya sendiri.

Melalui hak Angket, PDIP menggiring "pelengseran" Risma yang akhirnya berakhir dengan tertawaan. Bagaimana tidak, sang walikota dilengserkan oleh tindakannya menertibkan papan reklame di kota Pahlawan itu, tercatat hanya PKS yang menolak menonaktifkan Risma waktu itu. Tak kuasa menanggung malu, partai Demokrat akhirnya mencabut dukungan penonaktifan dengan dasar yang KONYOL itu, setelah sebelumnya PDIP sendiri balik kucing dan mencabut keputusannya.

Rupanya Risma hanya diperalat elit PDIP yang sarat ambisi kekuasaan. Wali kota Surabaya sebelumnya yang juga berasal dari PDIP masih belum "legowo" melepas jabatannya. Tidak berlebihan bila banyak artikel di media massa mensinyalir pilihan Risma sebagai calon wali kota semula hanya ditujukan sebagai "bumper politik” sang calon wawali. Ambisi berlebihan calon wawali untuk kembali berkuasa yang mentok oleh aturan perundang-undangan, sepertinya belum padam, meski gagal menempuh jalur judicial review. Mereka menjadikan Risma sebagai wali kota abal-abal dan lemah yang mudah disingkirkan - meski dengan alasan yang tak masuk akal - sehingga sang elit mendapat kesempatan untuk kembali berkuasa.

Orientasi kekuasaan kian jelas saat elit PDIP mencalonkan gubernur Jawa Timur. Rendahnya popularitas dan elektabilitas tak menghalangi elit PDIP untuk maju merebut kekuasaan lebih tinggi, meski akhirnya hany mendapat dukungan suara nomor buntut.

Elit PDIP di daerah pantas saja melakukan semua itu, sebab sang pucuk pimpinan partai sepertinya juga berkecenderungan setali tiga uang. Meski kalah populer dibanding Jokowi, tetapi Megawati masih belum rela mencapreskan Jokowi.  PDIP sepertinya bukan partai rakyat kecil seperti jargon mereka selama ini, sebab kalkulasi politik mengalahkan ambisi pribadi tokoh-tokohnya.

Kegagalan meraih kursi gubernur rupanya tak menyurutkan niat kader PDIP lain untuk berhenti merebut kekuasaan di kota Surabaya. Ambisi merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara kembali berlanjut saat pemilihan calon wakil wali Surabaya. Meski melalui proses politik yang aneh dan carut-marut, wakil wali kota yang baru kembali mengusik kekuasaan Risma dengan cara berbeda.

Selain mempertegas besarnya ambisi kekuasaan di kalangan politisi tak populer, gerak politik PDIP surabaya membuka tabir perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Tekanan proyek jalan tol dalam kota yang semula diduga berasal dari gubernur Jawa Timur, rupanya juga melibatkan kepentingan elit PDIP Surabaya. Terkuaknya skandal lobi dan suap yang dimaksudkan agar Risma menyetujui proyek tersebut, membuka borok kepentingan elit PDIP Surabaya, dan tak menutup kemungkinan politisi lain, yang sudah terlanjur menyetujui proyek tersebut pada era wali kota sebelumnya.

Bukan rahasia lagi, pemenang tender yang nilainya triliunan itu sudah pasti sudah memasok "upeti" yang tidak sedikit pada pejabat-pejabat yang berkepentingan. Apalagi mega skandal Hambalang yang juga melibatkan sang pemenang tender justeru terkuak dari kasus jalan tol Surabaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline