Lihat ke Halaman Asli

Perang Saudara Bouganville

Diperbarui: 18 Agustus 2023   16:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

ABSTRAK

Perang Saudara Bougainville atau yang di sebut juga dengan sebutan nama Konflik Bougainville, adalah konflik bersenjata yang terjadi dari tahun 1988 hingga 1998 antara Papua Nugini melawan Pasukan Revolusioner Bougainville yang terjadi di provinsi Solomon utara Papua Nugini (PNG) untuk memperjuangkan kemerdekaan Bougainville. Perang Saudara ini mungkin berkepanjangan, konflik ini telah di jelaskan oleh presiden Bougainville yaitu John Momis, bahwa konflik ini adalah konflik terbesar di Oseania sejak akhir perang dunia II pada tahun 1945. 

Permusuhan ini telah berakhir di bawah perjanjian damai Bougainville pada tahun 1998. Pemerintah nasional (PNG) telah menyetujui pendirian pemerintah Otonomi Bougainville dan hak serta wewenang tertentu yang akan dimiliki oleh pemerintah otonom kemudian di kenal dengan Provinsi Bougainville.

Kata kunci : Bougainville,Konflik,Tentara Revolusioner,Papua Nugini

PENDAHULUAN

Perang Saudara Bougainville, juga disebut dengan nama Konflik Bougainville, adalah konflik bersenjata yang meletus dari tahun 1988 hingga 1998 antara Papua Nugini melawan Pasukan Revolusioner Bougainville untuk memperjuangkan kemerdekaan Bougainville. Perang saudara ini disebut juga dengan konflik terbesar di Oseania semenjak berakhirnya Perang Dunia II dan telah memakan korban jiwa sebanyak 15.000 hingga 20.000 warga Bougainville tewas. Konflik Bougainville yang pernah berlangsung selama satu dekade terakhir berimbas dan menyebarkan tantangan kemanusiaan terhadap negara-negara yang berbatasan langsung dengan PNG, Kepulauan Solomon dan juga Indonesia. Konflik Bougainville telah memberikan dampak baru bagi penduduk Papua, khusus nya pemerintah nasional Indonesia yang mempunyai permasalahan yang mirip dengan PNG.

BAGIAN INTI

Pada tahun 1969, telah berhasil ditemukan kandungan bijih tembaga yang kaya di Bougainville. Maka didirikanlah suatu Tambang Tembaga Bougainville yang dibangun oleh perusahaan Australia Conzinc Rio Tinto. Tambang Panguna mulai berproduksi pada tahun 1972 di bawah manajemen Bougainville Copper Ltd, dan 20% sahamnya dipegang oleh Papua Nugini. Pada masa itu, tambang Panguna merupakan tambang terbuka yang terbesar di dunia. Tambang tersebut bisa menghasilkan 45% pendapatan ekspor nasional Papua Nugini dan amat penting bagi ekonomi negara tersebut.

Tambang ini telah menarik ribuan pendatang untuk berdatangan ke pulau Bougainville, kebanyakan adalah orang Papua Nugini yang dijuluki "kulit merah" karena warna kulit mereka yang merah (sementara kulit orang Bougainville berwarna hitam). Banyak juga orang "kulit putih" yang datang untuk bekerja di tambang (kebanyakan orang Australia). Kedatangan para pendatang ini menimbulkan ketegangan dengan orang-orang Bougainville yang tidak menginginkan orang asing di tanah mereka, terutama orang-orang "kulit merah" akibat perbedaan budaya.

Konflik ini menjadi besar semenjak mulai semenjak beroperasinya tambang Panguna. Banyak warga setempat yang menentangnya akibat masuknya pekerja dari luar, akibat permasalahan lingkungan dan keuntungan dari tambang yang lebih dinikmati oleh orang luar.

Pada akhir tahun 1988, ketegangan akibat keberadaan tambang ini telah memicu kekerasan. Walaupun pada awalnya hanya terjadi di area tambang, kekerasan kemudian menjalar ke wilayah lain. Pada akhirnya konflik ini telah berubah menjadi upaya Pasukan Revolusioner Bougainville (BRA) untuk memprjuangkan kemerdekakan Bougainville.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline