Lihat ke Halaman Asli

Nashihin N.

Pegiat Lirerasi

NU-Nasakom dan PKS-KIM

Diperbarui: 9 September 2024   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

                                                                                                   NU dan Nasakom, PKS-KIM.

                                                                                                          By Nashihin N., M. Sos.

Dalam sebulanan ini, dunia medsos diramaikan oleh opini Partai Keadilan Sejahtera (PKS)  bergabung dengan KIM dan membatalkan dukungan ke Anies sebagai calon gubernur pada Pilkada Jakarta, selanjutnya PKS mengusung pasangan Ridwan Kamil-Suswono (Rido). Dalam banyak postingan, PKS dibully oleh pendukungnya, terutama oleh loyalis Anies hingga sampai ada yang demo ke kantor DPP PKS. Bullyan itu di antaranya sebutan PKS penghianat, munafik, prorezim, dan lain-lain.

Ungkapan kekecewaan tersebut didasari karena mereka menginginkan PKS tetap mengusung Anies dan mereka juga menginginkan PKS tetap menjadi oposisi bagi pemerintahan Prabowo-Gibran, tidak menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung pasangan tersebut. Namun demikian, PKS tetap pada keputusannya.

Bergabungnya PKS ke KIM dinilai aib besar oleh pendukungnya. Walaupun tentu PKS punya alasan atas keputusannya. Namun demikian, jika melihat rekam jejak PKS, PKS adalah partai baik, sebagaimana dikatakan Ustadz Bakhtiar Nasir dalam konferensi pers tentang sikap politik PKS melalui video yang banyak beredar.     

Di luar opini yang berkembang, penulis mencoba menengok sejarah perpolitikan Indonesia pada tahun 1950-1960-an yang ada kemiripannya dengan yang dialami PKS pada saat ini. Dalam sejarah masa itu, NU sempat dicitrakan buruk karena masuk dalam pemerintahan Sukarno yang mengagendakan penggabungan kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom) dalam pemerintahannya. Ide Nasakom Sukarno ini terkenal dengan rumusan "Jalannya Revolusi Kita" (Jarek).

K. H. Abdul Wahab Chasbullah, salah satu pendiri NU, adalah yang setuju NU masuk dalam kabinet pemerintahan Sukarno. Sikap Kyai Chasbullah ini mendapat penentangan dari sebagian kiai yang lain, terutama dari kalangan Masyumi. Atas sikap beliau ini, Kiai Wahab kemudian dituduh dengan beragam sebutan, seperti sebutan tidak konsisten, oportunis, bahkan julukan 'Kiai Nasakom'.  

Dalam sejarah, Kiai Abdul Wahab dikenal sebagai negarawan ulung yang piawai berdiplomasi dengan siapa pun. Perannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ia tidak meninggalkan prinsip-prinsip syariat dengan tradisi keilmuan pesantren. Beliau cukup mampu mengimbangi aspirasi kelompok Islam dan mengendalikan pergerakan kaum sosialis dan komunis dalam pemerintahan, termasuk pada saat presiden Soekarno menggagas Nasakom.

Apa yang dilakukan Kiai Wahab dalam percaturan dan pergolakan politik tersebut merupakan langkah 'Politik Jalan Tengah'. Langkah yang dilakukannya pada saat itu tidaklah mudah karena itu membutuhkan argumentasi yang kuat dan langkah nyata atas persoalan yang dihadapinya. Langkah beliau sering bertentangan dengan ulama dan kiai-kiai lain, baik saat memimpin Masyumi maupun NU.

Dalam pandangan Kiai Wahab, duduk di kabinet merupakan kesempatan untuk memahamkan pemerintah tentang buruknya jika memasukkan unsur komunis dalam pemerintahan. Kiai Wahab menilai, "Ketika duduk di luar kabinet (menjadi oposisi), para ulama hanya bisa teriak-teriak tanpa bisa melakukan apa-apa. Bisa jadi, malah dituduh pengacau." (NU Onlie, 2019).

Misi tersebut (bergabung dalam kabinet) benar-benar dijalankan oleh NU di kabinet. Pada pemilu 1955, NU masuk tiga besar setelah PNI dan Masyumi, dan disusul PKI di urutan keempat. Sukarno ingin agar PKI masuk dalam kebinet, tetapi PNI, Masyumi, dan NU yang diwakili oleh  Ali Sastroamijoyo, M. Roem, dan Idcham Kholid, mereka menolak keinginan Sukarno.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline