Lihat ke Halaman Asli

nashifa salwa

mahasiswa

Mental Health Problems

Diperbarui: 11 November 2023   21:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi komunikasi mengenai kesehatan mental antara dokter dan pasien (sumber : https://www.istockphoto.com/id/) 

Saat ini insiden bunuh diri sedang marak-maraknya di Indonesia apalagi di kalangan remaja khususnya mahasiswa dengan faktor pemicu masalah seperti depresi, strees, dan putus  asa. Penyebab depresi pada mahasiswa biasanya diakibatkan karena tekanan dalam bidang akademik, perundungan (bullying), faktor keluarga, dan permasalahan ekonomi. Depresi  berat akan mengalami kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri (self harm) hingga memunculkan keinginan untuk bunuh diri, padahal bunuh diri bukan cara untuk menyelesaikan permasalahan. Namun, mereka tidak menyadari, jika mereka sudah memiliki ciri-ciri orang yang bermasalah pada kesehatan mental.

Kesehatan mental berpengaruh terhadap bagaimana seseorang berpikir, bertindak, membuat keputusan, dan berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang sehat secara mental dapat melakukan aktivitas dengan produktif dan mampu berpikir secara positif sehingga ketika dihadapkan dengan suatu permasalahan mereka mampu menemukan solusi atau jawaban untuk permasalahan tersebut. Kesehatan mental juga sering dikaitkan dengan self harm, karena banyak orang yang mengalami gangguan kesehatan mental akan menyakiti dirinya sendiri karena memberikan efek perasaan lega pada penderita gangguan kesehatan mental. Self harm berarti perilaku menyakiti atau melukai diri sendiri karena sulit untuk mengondisikan gairah atau nafsu untuk menyakiti diri sendiri, mereka melakukannya karena ada kepuasan tersendiri jika dirinya sudah tersakiti. Bentuk dari self harm tidak hanya bunuh diri, tetapi dapat sepertu meracuni diri sendiri, menyayat tangan dengan benda tajam, atau memukul kepala agar kecemasan pada dirinya berkurang.

Dikutip dari WHO, secara global sekitar 1 dari 7 (14%) anak usia 10-19 tahun mengalami kondisi kesehatan mental, tetapi belum diketahui kondisi dan penyebabnya. Pemahaman akan kesehatan mental di Indonesia cenderung masih rendah karena dianggap tidak penting. Masyarakat cenderung memberi stigma negatif terhadap orang dengan gangguan kesehatan mental yaitu dengan mencela dan menganggapnya sebagai aib, banyak anggapan yang menyebutnya orang tidak waras atau gila sehingga harus diasingkan. Selain itu masyarakat yang kurang paham akan tanda-tanda gangguan kesehatan mental seperti depresi, padahal depresi merupakan gangguan kesehatan mental yang paling sering ditemukan. Oleh karena itu menyebabkan orang dengan kesehatan mental yang terganggu cenderung lebih sulit terbuka dengan pengobatan dan malah merasa semakin tertekan terhadap stigma masyarakat.

Kemudian kita harus menghilangkan stigma negatif terkait gangguan kesehatan mental. Hendaknya kita dapat lebih peka dan peduli akan gangguan kesehatan mental yang ada disekitar untuk mengurangi angka kematian akibat bunuh diri. Permasalahan  atau luka di masa lalu yang belum sembuh dapat menjadikan mental kita terganggu, apabila hal ini terus berlanjut, maka akan memberikan dampak yang buruk. Sebagai masyarakat kita dapat berperan dengan membantu menjadi pendengar bagi orang yang mengalami depresi maupun stress yang merupakan upaya unyuk meringankan beban mental mereka. Pada era digital seperti sekarang banyak platfrom yang telah meyediakan layanan konsultasi secara daring. Selain itu, beberapa puskesmas telah menyediakan layanan konsultasi psikologi dengan biaya gratis maupun berbayar dengan harga yang terjangkau.

Pencegahan kesehatan mental memerlukan pendekatan multilevel dengan platform penyampaian yang bervariasi. Misalnya, media digital, layanan kesehatan atau layanan sosial, sekolah atau masyarakat dan beragam strategi untuk menjangkau remaja, khususnya kelompok yang paling rentan.

Pada masa ini transisi remaja sangat rentan mengalami masalah kesehatan jiwa, namun masih banyak anak remaja atau orang tua yang mengakses layanan kesehatan jiwa. Tetapi faktor lain yang juga menjadi penghambat, yaitu layanan yang kurang sesuai dengan kebutuhan remaja di usia mereka yang sedang mengalami transisi.

Menurut informasi yang kami dapatkan dari Kaligis, Fransiska. (2021, November 1). Kebanyakan remaja sekarang membutuhkan layanan bantuan kesehatan mental yang menjamin kerahasiaan (99,2%), tidak menghakimi (98,5%), berkelanjutan untuk periode waktu tertentu (96%), dan dapat diakses online (84,5%). Dari beberapa remaja yang merasakan layanan dari tenaga profesional yang kurang ramah (99,2%) dan belum terbuka untuk mendengarkan segala permasalahan yang mereka alami (99%). Sehingga mereka yang mengalami transisi mengatakan takut menceritakan ke orang tua atau orang terdekat bahwa mereka datang ke layanan kesehatan mental karena takut dianggap sebagai orang dengan gangguan jiwa berat atau “kurang iman”.

Berdasarkan kasus tersebut seharusnya di masa sekarang fasilitas kesehatan yang ada harus bisa memberikan perhatian dan dukungan lebih pada kesehatan remaja di usia transisi. Utamanya, berbagai layanan ini harus bisa menjamin kerahasiaan, tidak menghakimi, dan terbuka mendengarkan masalah remaja di periode ini apapun bentuknya.

Nashifa Salwa Aprilia Putri dan Keysha Malika Aqilah , Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline