Lihat ke Halaman Asli

Waninya Bayar Piro?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13938280982052429677

[caption id="attachment_325680" align="aligncenter" width="624" caption="Begrount,Mandi Uang (Fhoto Kompas.Com)"][/caption]

Semakin dekat pelaksanaan Pemilihan Umum  Angota Legeslatif (Pilcaleg), tawar menawar kepala mulai berlangsung. Pembicaraan tawar menawar kepala ini, tidak lagi menjadi rahasia, tapi sudah menjadi rahasia umum. Perkataan “ Jelas, Waninya Piro “, kini mengudara di warung warung kopi di daerah. Bahkan ada juga yang menawarkan dor to dor ( dari pintu kepintu) kepala mereka berapa di hargai.

Dan tidak segan segan pula para Calon Anggota Legeslatif yang akan turut meramaikan Pilcaleg ini menurunkan tim suksesnya untuk merekrut masya agar memilihnya pada Pilcaleg 9 Afril 2014 yang sudah di ambang pintu. Para Tim Sukses (TS) ini menawarkan harga untuk satu kepala pemilih. Mereka mewarkan harga ini, baik di warung warung kopi, di pinggir pinggir jalan, bahkan tidak sedikit pula para TS ini mendatangi rumah rumah calon pemilih.

Harga yang di tawarkan per kepala memang berpariasi. Jika yang datang Caleg miskin para TS nya menawarkan harga Rp 50.000,-/kepala. Tapi jika TS Caleg yang berkantong tebal yang datang harganya lebih tinggi dari harga Caleg yang miskin. Harga dari Caleg yang kaya berkisar antara Rp 100.000, sampai dengan Rp 200.000,-/kepala. Bahkan ada yang sanggup bayar dengan uang Rp 100.000,- di tambah beras 10 Kg. Namun tidak sedikit pula TS yang hanya menawarkan ucapan Tolong Bantu, Mohon Dukungannya.

Caleg yang datang menawarkan ucapan Tolong Bantu, Mohon Dukungannya, datangnya dari Caleg yang benar benar kere. Kehadirannya di kancah Politik hanya sekedar untuk memenuhi kuota Pencalegkan dari suatu partai. Maafnya, jangankan untuk membayar kepala orang, untuk keperluan nya sehari hari saja tidak jelas.

Munculnya Caleg Caleg seperti ini, adalah dari tuntutan sebuah zaman. Inilah kelebihan zaman Reformasi yang kita agung agungkan. Seseorang hari ini bekerja sebagai penarik becak, ojek, pedagang asongan, Buruh Bangunan, Nelayan, bahkan pengangguran sekalipun, jika memiliki izazah SLTA, dan punya keberanian untuk mencalonkan diri menjadi Anggota Legeslatif, bisa menjadi Caleg. Maka nya kita tidak perlu heran, ketika seorang Penarik Beca, tiba tiba saja sudah menjadi Caleg, walaupun dari partai gurem.

Pendek kata bursa tawar menawar kepalapun, semakin kian ramai. Bagi calon pemilih pun tidak lagi memandang calon yang akan di pilihnya, punya kualitas dan wawasan atau tidak, yang penting jika “ Wani bayar “ mahal ini yang mereka pilih. Walaupun nantinya Calon yang di pilihnya tidak memperjuangkan nasib nya mereka tidak perduli, yang penting di saat si caleg butuh suara dan berani bayar mahal, itu saja sudah cukup. Dan sicaleg setelah terpilih duduk sebagai Anggota DPR, DPRD mau korupsi mau tidak, itu tidak urusan yang memilihnya.

Sikap apatis masyarakat seperti ini memang sangat bahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi  apa hendak di kata, datangnya sekap apatis yang di perlihatkan oleh masyarakat adalah akibat dari tingkah laku yang di pertotonkan oleh para Anggota DPR, DPRD. Jadi “ Jangan Salahkan Bunda Mengandung, Tapi sudah suratan terlukis di garis tangan “.

Masyarakat telah muak dengan janji janji yang di tawarkan oleh para Caleg sebelum mereka terpilih. Tapi begitu mereka terpilih, Janji janji yang mereka sampaikan tak lebih dari pada “Jambu” (Janji Busuk). Yang tidak pernah mereka tepati. Maka tidak salah jika Pradolin Ukur menulis dalam sajaknya Di kesibukan Kampanye mengatakan “ Sepuluh Tahun kau Bicara, Namun Aku Tak Punya Celana”.

Inilah yang di rasakan oleh Masyarakat Indonesia di era Reformasi sekarang ini. Para Caleg yang tampil maaf jika kita katakan tidak punya kualitas dan wawasan. Yang penting ada uang dan ada Partai Politik Yang mencalonkan, maka tukang becakpun bisa jadi Caleg. Bukan maksudnya mengecilkan para tukang becak, buruh bangunan, padagang asongan, nelayan dan pengangguran, tidak bisa menjadi Caleg. Tapi yang terlihat yang berasal dari apa yang di sebutkan diatas memang tidak punya wawasan dan kualitas. Beda jika mereka memang punya wawasan dan kualitas silakan untuk maju menjadi Caleg dan memperjuangkan nasib kaum nya yang terpinggirkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline