Piramida Perkaderan Ikatan Pelajar Muhammadiyah: Kritik atas Tantangan dan Realitas
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), sebagai organisasi otonom Muhammadiyah, memegang peran strategis dalam membentuk generasi muda yang berdaya dan berkemajuan.
Perkaderan yang menjadi inti dari gerakan IPM dirancang untuk mencetak kader yang berakhlak, berintelektual, dan mampu berkontribusi dalam masyarakat. Namun, ketika kita membayangkan sistem perkaderan IPM sebagai piramida, berbagai tantangan dan kritik muncul terkait fondasi, proses, dan hasilnya.
Fondasi: Basis Massa yang Lemah
Dasar piramida perkaderan IPM terletak pada pembentukan basis massa pelajar di tingkat akar rumput. Namun, tantangan muncul ketika rekrutmen kader tidak seimbang dengan upaya menjaga kualitas pembinaan. Dalam beberapa kasus, banyak anggota hanya direkrut untuk memenuhi kuota atau formalitas organisasi, tanpa pembinaan berkelanjutan yang memadai.
Akibatnya, fondasi piramida menjadi rapuh. Dalam era yang penuh tantangan ini, organisasi di Indonesia dan di seluruh dunia seringkali dihadapkan pada berbagai krisis, seperti krisis keuangan, minimnya sumber daya manusia dalam organisasi, sifat pragmatis yang dimiliki beberapa anggota organisasi yang dimana hal itu juga dapat menjadi sumber krisis yang akan dialami oleh sebuah organisasi.
(Nasrul Efendi et al., 2023) Pelajar yang bergabung sering kali tidak memiliki pemahaman mendalam tentang nilai-nilai IPM, yang akhirnya melemahkan komitmen mereka terhadap gerakan. Jika basis massa lemah, keberlanjutan kaderisasi dalam organisasi juga terancam.
Proses: Hierarki yang Elitis
Di tengah upaya menciptakan kader unggul, sistem perkaderan IPM kadang terjebak dalam pola hierarki yang elitis. Kader yang berada di puncak piramida sering kali menjadi kelompok eksklusif yang sulit diakses oleh kader-kader muda. Hal ini menciptakan jarak yang signifikan antara pimpinan dan anggota.
Selain itu, proses kaderisasi sering kali lebih fokus pada formalitas, seperti syahadah pelatihan, dari pada penguatan kapasitas nyata kader. Agenda perkaderan yang ada terkadang mengutamakan teori dan idealisme, namun kurang memberikan ruang untuk praktik dan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Hasil: Kader yang Terjebak dalam Rutinitas