Lihat ke Halaman Asli

nasarudin yusma

pelajar/mahasiswa

Piramida Perkaderan IPM, Kritik atas Tantangan dan Realitas

Diperbarui: 2 Desember 2024   06:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Piramida Perkaderan Ikatan Pelajar Muhammadiyah: Kritik atas Tantangan dan Realitas

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), sebagai organisasi otonom Muhammadiyah, memegang peran strategis dalam membentuk generasi muda yang berdaya dan berkemajuan. 

Perkaderan yang menjadi inti dari gerakan IPM dirancang untuk mencetak kader yang berakhlak, berintelektual, dan mampu berkontribusi dalam masyarakat. Namun, ketika kita membayangkan sistem perkaderan IPM sebagai piramida, berbagai tantangan dan kritik muncul terkait fondasi, proses, dan hasilnya.

Fondasi: Basis Massa yang Lemah

Dasar piramida perkaderan IPM terletak pada pembentukan basis massa pelajar di tingkat akar rumput. Namun, tantangan muncul ketika rekrutmen kader tidak seimbang dengan upaya menjaga kualitas pembinaan. Dalam beberapa kasus, banyak anggota hanya direkrut untuk memenuhi kuota atau formalitas organisasi, tanpa pembinaan berkelanjutan yang memadai.

Akibatnya, fondasi piramida menjadi rapuh. Dalam  era  yang  penuh  tantangan  ini,  organisasi  di  Indonesia  dan  di  seluruh  dunia seringkali dihadapkan pada berbagai krisis, seperti krisis keuangan, minimnya sumber daya manusia  dalam  organisasi,  sifat  pragmatis  yang  dimiliki  beberapa  anggota  organisasi  yang dimana hal itu juga dapat menjadi sumber krisis yang akan dialami oleh sebuah organisasi.

(Nasrul Efendi et al., 2023)  Pelajar yang bergabung sering kali tidak memiliki pemahaman mendalam tentang nilai-nilai IPM, yang akhirnya melemahkan komitmen mereka terhadap gerakan. Jika basis massa lemah, keberlanjutan kaderisasi dalam organisasi juga terancam.

Proses: Hierarki yang Elitis

Di tengah upaya menciptakan kader unggul, sistem perkaderan IPM kadang terjebak dalam pola hierarki yang elitis. Kader yang berada di puncak piramida sering kali menjadi kelompok eksklusif yang sulit diakses oleh kader-kader muda. Hal ini menciptakan jarak yang signifikan antara pimpinan dan anggota.

Selain itu, proses kaderisasi sering kali lebih fokus pada formalitas, seperti syahadah pelatihan, dari pada penguatan kapasitas nyata kader. Agenda perkaderan yang ada terkadang mengutamakan teori dan idealisme, namun kurang memberikan ruang untuk praktik dan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan zaman.

Hasil: Kader yang Terjebak dalam Rutinitas

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline