Lihat ke Halaman Asli

Narwan Eska

Pemahat Rupadhatu

Mencintai Bahasa Indonesia dengan Menulis Secara Benar dan Baik

Diperbarui: 11 Oktober 2020   19:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Bahasa Indonesia. (ilustrasi: liputan6.com)

BULAN Oktober dijadikan sebagai Bulan Bahasa, hal itu terkait dengan peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Di mana Bahasa Indonesia dijunjung tinggi sebagai "Bahasa Persatuan". Sebagai "Bahasa Persatuan" tentu mengakomodasi bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia.

Karena mengakomodasi dengan 'menasionalkan' berbagai kosa kata dari bahasa daerah, dalam penggunaan bahasa Indonesia seyogyanya yang 'benar dan baik'. Mengapa saya katakan 'benar dan baik', bukan 'baik dan benar' seperti yang sering Kompasianer dengar? Karena penulis memiliki alasan yang bisa dibuktikan dengan analogi-analogi, bahwa benar itu baik, namun baik belum tentu benar.

Analoginya, sebuah pintu yang bisa dibuka, ditutup, dan dikunci merupakan pintu yang benar, meskipun pintu itu tidak dicat atau dipelitur. Kemudian ada pintu yang dicat atau dipolitur dengan bagus sehingga tampak baik, tetapi bila tidak dibuka dan ditutup, alias tidak berfungsi maka pintu tersebut tidak benar. Maka lebih utama yang benar (berfungsi), meski belum dikatakan baik, sehingga pintu yang berfungsi dan dicat menjadi pintu yang benar dan baik.

Analogi lain, kata 'buntut' (bahasa Jawa) dalam bahasa Indonesia berarti 'ekor', namun bila ekor sapi dimasak sop, kita tidak menyebutnya 'sop ekor', karena yang benar dan baik tetap 'sop buntut'.

Penulisan yang benar dan baik dalam sebuah artikel, berita, atau karya sastra tetap mengacu pada kaidah-kaidah dalam ejaan yang disempurnakan (EYD). Bagaimana menulis judul, menggunakan awalan dan kata depan, penulisan nama dan gelar, serapan, kutipan, sampai pada penggunaan tanda baca tetap mengacu pada EYD.

Dalam bahasa jurnalistik (terutama pada media cetak) boleh jadi penulisan titel misalnya, kebanyakan tanpa menggunakan kaidah EYD. Misalnya menuliskan nama Fulan MPd, tidak ditulis Fulan, M.Pd sesuai EYD. Mungkin alasan keterbatasan kolom atau halaman media cetak itu. Namun ketika sudah beralih menulis di media online (terlebih yang tak terbatas kolom atau jumlah kata) seharusnya menulis memenuhi kaidah EYD.

Mengapa hal itu perlu dilakukan? Karena sebagai bentuk mencintai bahasa Indonesia. Bagaimana bila tulisan online yang tak memenuhi kaidah EYD kemudian ditulis ulang oleh pelajar yang juga kurang paham EYD? Tentu nilai pelajaran Bahasa Indonesia-nya akan memprihatinkan. Jangan sampai Anak Indonesia namun kurang paham kaidah bahasa Indonesia.

Kembali kepada masalah benar dan baik dalam berbahasa Indonesia, seharusnya mulai ditanamkan sejak dini. Karena bahasa lisan terkadang 'dianggap' sama ketika dituliskan. Misalnya kalimat: "Mobil ini di jual", saat diucapkan mungin paham maksudnya. Namun dalam penulisannya salah, seharusnya "Mobil ini dijual" (kata dijual dirangkai, karena diikuti kata kerja).

Untuk mencintai bahasa Indonesia, mari kita mulai dengan menulis secara benar dan baik. Kaidah dalam EYD perlu diajarkan kepada anak sejak dini, sehingga pada diri mereka tertanam mencintai bahasa Indonesia. Dia akan menjadi kritis ketika ada penulisan kata atau kalimat yang tidak memenuhi kaidah yang benar. Menjadi generasi yang mencintai bahasa Indonesia, di mana pun, kapan pun, dalam kondisi apa pun. (Narwan Eska)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline