Sebagai abdi pada seorang adipati, Ki Pardopo sangat tekun bekerja. Tidak pernah sekali saja ia membantah perintah. Maka wajar bila ia mendapat hadiah yang baginya sangat berlebihan. Ki Pardopo beserta anak dan istrinya diminta pindah dan tinggal di lingkungan kadipaten. Meskipun ia menganggap berlebihan, ia tak dapat menolak perintah tuannya.
"Ini semua karena jasamu pada Kadipaten Pudakwangi. Sebagai abdi yang setia. Cuma ingat pesanku, seperti ruang-ruang yang lain, setiap ruangan jangan sampai gelap. Taruh senthir, hidupkan bila malam kalian tidur. Agar aman dari marabahaya."
"Sendika, Gusti." Jawab Ki Pardopo.
Udara dingin menerobos lubang-lubang dinding. Menggerayangi sekujur tubuh Menur yang beranjak merenangi mimpi-mimpinya. Kesunyian segera menyelimuti kadipaten. Dinginnya malam membuat mimpi-mimpi betah hinggap di alam bawah sadar penghuni Pudakwangi.
Tiba-tiba senthir di ruang tidur Menur berpindah tempat. Kini senthir itu di lantai sehingga tubuh Menur tak lagi terterangi. Bayangan ranjang menutupi bujur tubuh gadis berparas cantik yang sedang merenangi lautan mimpi itu. Segenggam jari mendekap mulut Menur sehingga gadis itu terbangun. Tak ada suara jerit dapat terteriakkan, tak ada ronta kuasa tergerakkan. Hanya takut yang memicu keringat sekujur tubuh. Sebuah kalimat yang ia kenal membuatnya tak berdaya mempertahankan kebanggaan suci yang dijaga selama ini.
Pagi sekali Nyi Pardopo membangunkan Menur. Ada pancaran rasa heran di wajah Nyi Pardopo. Senthir itu tak lagi di atas meja, namun berada di atas lantai. Nyi Pardopo menasehati Menur, tidak baik tidur di kamar dalam keadaan gelap bagi seorang gadis, juga sudah diwanti-wanti oleh Gusti Adipati. Memang benar adanya, bila senthir diletakkan di atas meja, ruangan menjadi terang. Bukan di lantai yang membuat siapa yang tidur tidak terlihat.
"Maaf, Mbok. Menur tidak bermaksud tidur gelap-gelapan."
"Ya, sudah. Jangan diulangi lagi."
Menur sebenarnya menyimpan ketakutan yang sangat. Bukan tangannya yang memindah senthir itu. Bahkan Menur semalam tidak kuasa beranjak dari ranjangnya. Hanya rasa takut dan amarah yang menggumpal, menyumbat kerongkongan. Namun rasa itu dimbunyikan di depan ibunya.
***