Miris. Kata yang tepat untuk menggambarkan video viral yang memperlihatkan seorang guru dikeroyok oleh murid-muridnya. Pendidikan yang seharusnya menjadi ruang aman bagi pembelajaran dan pembentukan karakter justru berubah menjadi arena kekerasan.
Lebih dari sekadar insiden, kejadian ini menimbulkan pertanyaan besar "Bagaimana kondisi mental anak-anak ini di rumah? Seperti apa lingkungan yang membentuk mereka hingga mampu menyerang figur yang seharusnya mereka hormati?"
Kejadian ini bukan yang pertama. Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kasus kekerasan di lingkungan pendidikan masih tinggi.
Dari Januari hingga Agustus 2023, terdapat 861 kasus kekerasan di satuan pendidikan, dengan rincian: 487 kasus kekerasan seksual, 236 kasus kekerasan fisik dan/atau psikis, 87 kasus perundungan (bullying), 27 kasus terkait pemenuhan fasilitas pendidikan, dan 24 kasus terkait kebijakan pendidikan (Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2023).
Angka ini menunjukkan bahwa kekerasan dalam pendidikan bukan lagi anomali, tetapi bagian dari pola sosial yang semakin mengkhawatirkan.
Anak-Anak yang Tumbuh Tanpa Kendali
Dalam beberapa tahun terakhir, kasus agresivitas remaja semakin sering muncul di media sosial. Banyak di antara mereka tumbuh dalam lingkungan yang minim kontrol emosional dan cenderung bebas tanpa bimbingan orang tua.
Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada tahun 2022, lebih dari separuh kasus kekerasan terjadi pada anak dan 34,27% pada anak berusia 13-17 tahun (Amalia, 2023).
Meskipun data spesifik mengenai pola asuh tidak tersedia, angka-angka ini menunjukkan adanya masalah serius dalam lingkungan keluarga dan pengasuhan.
Lalu, bagaimana mental anak-anak ini di rumah? Jawabannya bisa beragam. Sebagian besar mungkin mengalami tekanan emosional tanpa ruang sehat untuk meluapkannya. Mungkin mereka tumbuh dalam rumah tangga yang penuh konflik, di mana kekerasan verbal atau bahkan fisik menjadi hal yang biasa.
Bisa jadi, mereka dibesarkan dalam lingkungan di mana menghormati orang lain bukanlah nilai yang diajarkan, melainkan bagaimana menjadi yang paling dominan agar tidak ditindas.