Bertahan hidup selalu menjadi topik menarik dalam kehidupan manusia. Setiap individu, kelompok, hingga bangsa, pada dasarnya ingin tetap eksis, bertahan di tengah perubahan zaman, dan menghadapi berbagai tantangan.
Di balik itu semua, ada satu elemen penting yang sering kali dilupakan atau diabaikan, yakni kebenaran. Tidak sedikit yang berpikir bahwa bertahan hidup harus melibatkan kompromi atau bahkan pengorbanan terhadap prinsip-prinsip dasar yang benar.
Namun, bertahan hidup di atas kebenaran justru adalah hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Mengapa demikian?
Kebenaran sebagai Dasar Bertahan Hidup
Bertahan hidup, baik dalam konteks individu maupun kolektif, sering kali dikaitkan dengan adaptasi dan kompromi. Kita cenderung berpikir bahwa untuk tetap bertahan, kita harus "menyesuaikan diri" dengan realitas yang ada, bahkan jika realitas tersebut melibatkan ketidakbenaran atau sesuatu yang salah.
Namun, pada dasarnya kebenaran bukanlah hal yang boleh diabaikan begitu saja. Bertahan hidup di atas kebenaran berarti hidup dengan prinsip yang kuat, sesuatu yang justru menjadi fondasi kokoh dalam menghadapi perubahan dan tantangan yang ada.
Dalam konteks sosial, kebenaran sering kali dihadapkan pada godaan pragmatisme. Orang sering berkata, "Kamu harus fleksibel kalau mau bertahan." Tentu, ada nilai dalam fleksibilitas, tetapi bukan berarti fleksibilitas harus menghancurkan prinsip yang benar.
Misalnya, ketika seseorang dihadapkan pada situasi di mana kejujuran akan merugikannya, apakah dia harus mengorbankan kejujuran demi keuntungan jangka pendek? Jawabannya adalah bertahan hidup di atas kebenaran, bahkan dalam situasi sulit, akan selalu memberikan hasil jangka panjang yang lebih baik.
Mengapa Kebenaran Tak Perlu Dipermasalahkan?
Kebenaran, sebagai nilai fundamental, tidak perlu diperdebatkan atau dipertanyakan keberadaannya dalam kehidupan sehari-hari. Ia adalah dasar dari moralitas, keadilan, dan integritas.
Ketika kita mulai mempertanyakan apakah kebenaran perlu diperhatikan atau tidak dalam bertahan hidup, kita sebenarnya sedang membuka pintu bagi ketidakadilan dan kepalsuan.
Sebagai contoh, dalam dunia kerja tidak jarang seseorang dihadapkan pada dilema antara mengejar kesuksesan dengan cara-cara yang tidak etis atau tetap teguh pada prinsip kebenaran. Pada awalnya, mengambil jalan pintas dengan mengabaikan kebenaran mungkin tampak seperti cara yang lebih mudah untuk bertahan atau bahkan maju.