Belakangan ini, istilah quiet quitting semakin sering terdengar, terutama di kalangan generasi muda yang mulai mempertanyakan makna dari bekerja keras tanpa henti.
Berbeda dengan konsep resign atau berhenti kerja secara resmi, quiet quitting bukan berarti benar-benar meninggalkan pekerjaan, melainkan menolak untuk memberikan lebih dari apa yang diminta oleh deskripsi pekerjaan mereka.
Mereka tetap melakukan tugas-tugas inti, namun tanpa mengorbankan keseimbangan hidup dan kesehatan mental. Fenomena ini mencerminkan respons terhadap budaya kerja yang menuntut produktivitas tanpa batas, dan menjadi bentuk perlawanan terhadap tuntutan berlebihan dari dunia kerja.
Banyak dari kita mungkin pernah mendengar istilah hustle culture, di mana bekerja tanpa henti dan selalu sibuk dianggap sebagai simbol kesuksesan. Di era modern ini, budaya tersebut telah menjadi standar, terutama di kalangan pekerja muda.
Namun, bagi sebagian besar generasi muda, terutama mereka yang tergolong dalam generasi milenial dan Gen Z, budaya kerja seperti ini semakin dirasa tidak manusiawi. Terlebih setelah pandemi COVID-19, banyak dari mereka mulai merenungkan nilai hidup yang sebenarnya, di mana pekerjaan tidak lagi menjadi pusat kehidupan.
Quiet quitting menjadi bentuk kritik terhadap budaya kerja yang tidak sehat, dan menunjukkan bahwa ada cara lain untuk menjalani hidup selain terus-menerus mengejar produktivitas tanpa henti.
Generasi muda masa kini seringkali merasa bahwa ekspektasi terhadap mereka dalam dunia kerja terlalu tinggi. Mereka diminta untuk selalu bekerja keras, mengambil pekerjaan tambahan, dan bersedia mengorbankan waktu pribadi demi pekerjaan.
Akibatnya, banyak pekerja muda yang mengalami burnout, atau kelelahan mental dan fisik yang disebabkan oleh tekanan pekerjaan yang berlebihan. Quiet quitting muncul sebagai mekanisme perlindungan diri dari ekspektasi yang tak realistis tersebut.