Pernahkah Anda saat berselancar di media sosial, tiba-tiba melihat komentar yang membuat Anda terdiam sejenak? Istilah-istilah seperti "rahim anget", "tobrut", atau "aura maghrib" kerap muncul di kolom komentar terutama pada unggahan viral. Mungkin awalnya istilah-istilah tersebut terasa menggelitik dan mengundang tawa karena keunikannya.
Namun, coba pikirkan kembali, apakah penggunaan istilah-istilah semacam ini sebenarnya pantas? Apalagi jika konteksnya adalah komentar terhadap penampilan seseorang atau pernyataan bernada seksis.
Media sosial memang memberikan kebebasan berpendapat, tetapi ketika vulgaritas dan seksisme dianggap lumrah, kita patut mempertanyakan arah budaya komunikasi yang sedang terbentuk ini.
Istilah Seksis yang Menyesatkan
Istilah-istilah seperti "rahim anget" atau "tobrut" mungkin terdengar asing bagi sebagian orang, namun bagi yang sering menghabiskan waktu di media sosial, istilah ini bukanlah hal baru.
Kalimat-kalimat ini biasanya muncul dalam konteks menggambarkan ketertarikan yang berlebihan terhadap penampilan seseorang, dengan nada yang merendahkan dan mengobjektifikasi. Lucunya, alih-alih merasa terganggu, banyak orang yang malah tertawa dan menganggapnya sebagai lelucon.
Kebiasaan menggunakan bahasa seperti ini menciptakan suasana di mana vulgaritas dianggap sebagai sesuatu yang normal. Padahal, jika kita telaah lebih dalam, apa yang diistilahkan sebagai "rahim anget" atau "tobrut" adalah bentuk lain dari komentar seksis yang memandang tubuh perempuan sebagai objek semata.
Sama halnya dengan istilah "aura maghrib" yang menyiratkan makna negatif terhadap perempuan dengan menilai mereka dari fisik atau penampilan luar, seringkali dikaitkan dengan stereotip gender yang sempit.
Mengapa Ini Berbahaya?
Penggunaan istilah-istilah seksis dan vulgar di media sosial mungkin tampak sepele bagi sebagian orang. Namun, jika dibiarkan, hal ini berpotensi membentuk persepsi sosial yang salah tentang bagaimana kita memperlakukan satu sama lain, terutama dalam hal gender.
Ketika istilah-istilah seperti ini dibiarkan berkembang, orang-orang terutama anak muda mulai terbiasa dengan pola pikir yang merendahkan perempuan dan menganggapnya sebagai bagian dari humor yang "biasa saja".
Ini berpotensi memicu normalisasi budaya misoginis yang memperkuat ketidaksetaraan gender di masyarakat. Dalam jangka panjang, cara kita berkomunikasi di media sosial berpengaruh pada cara kita berinteraksi di dunia nyata.