Saya seorang penduduk kota Yogyakarta. Saya muda, saya seperti remaja kebanyakan, suka ikut-ikutan. Saya selalu mengikuti trend yang sedang terjadi, entah dari mulai pakaian sampai cara ber-SMS. Tapi entah sejak kapan kebiasaan itu hilang, saya berpakaian seadanya, namun paling tidak nyaman untuk saya dan mata orang lain. Saya tidak lagi setiap malam nongkrong di suatu tempat sampai larut malam atau menonton gigs dengan kostum trendi. Saya tidak lagi mengetik SMS dengan cara disingkat, saya belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya menyibukkan diri pada kuliah dan buku, itu saja.
Awalnya, saya sempat kaget dengan diri saya yang baru, namun ternyata inilah kenyamanan saya yang seutuhnya. Sampai suatu saat, saya melihat suatu fenomena yang menggelitik pikiran saya, ini juga menyangkut masa silam saya. Saya pernah menjadi suatu bagian dari keluarga yang mencintai sepeda, saya bersama keluarga saya mempunyai kendaraan masing-masing, bukan sepeda motor apalagi mobil, itu hanya sepeda. Kenapa sepeda? Pertama itu sangat menghemat bahan bakar, kedua bersepeda membantu kami sehat, yang ketiga ini yang paling menguntungkan buat saya karena saya tidak punya SIM. Sepeda membebaskan saya dari ancaman polisi. Kami boleh menentukan ingin model sepeda apa. Waktu itu saya hanya manut pada kakak saya, saya diberi sebuah sepeda unik, sepeda tinggi. Sepeda tinggi, begitulah sebutannya, sepeda dengan ketinggian kira-kira dua buah sepeda ditumpuk keatas. Sepeda ini pertama kali dikenalkan di Yogya oleh sekelompok sirkus anak muda dari Eropa, mereka pun memakainya bukan hanya untuk pertunjukan sirkus tapi juga untuk transportasi sehari-hari, yang mungkin untuk mata masyarakat umum sepeda ini sungguh menyulitkan.
“Kalau di lampu merah bagaimana?,” itulah pertanyaan yang selalu saya dengar ketika saya sedang memakai sepeda itu di jalan, lalu orang-orang menatap dan bertanya.
Sepeda tinggi, bermula cerita mengapa digunakan lalu diterapkan oleh beberapa anak muda Yogya, ini sebuah pesan tentang sepeda yang tidak lagi eksis di jalan raya, jika pun ada sepeda yang sedang melintas itu tidak dipedulikan, bahkan disepelekan. Sepeda tinggi inilah menjadi sebuah keterkejutan di jalan raya. Ketika ia melaju di jalan raya, semua orang diam menatapnya, bertanya-tanya, dan tidak ada mobil ataupun motor yang mengklaksonnya sembarangan. Namun setelah beberapa lama sepeda ini eksis, para penggunanya mulai semena-mena terhadap jalanan, seenaknya menerobos lampu merah saat ramai. Sepeda memang diperbolehkan menerobos lampu merah, karena ia pasti tidak akan kena tilang karena pula ia tidak membayar pajak.
Lama sepeda tidak menunjukkan eksisitensinya di jalan, tiba-tiba boominglah sebuah sepeda warna-warni dengan postur seperti sepeda balap. Fixed-gear atau fixie, begitulah namanya. Ini sebenarnya hanyalah sebuah sepeda primitif, tapi keunikan sepeda ini ketika pedal bergerak bersama dengan jalannya sepeda, artinya jika jalan turun kita harus mengayuh tapi keyika jalan naik/tanjakan ini menjadi pekerjaan kuli bagi pengendaranya. Sepeda ini sama dengan becak, yang dikayuh sekali ia akan berjalan cukup jauh. Fixie sendiri pertama diperkenalkan di Amerika Serikat, ini adalah sepeda kurir. Sepeda ini digunakan oleh beberapa kota di negara adidaya tersebut untuka mengantar barang, seperti koran, pizza, barang pos, dll. Fixie mulai merebak di Indonesia entah mulai kapan, tapi jika saya amati di kota Yogyakarta fixie mulai eksis bersamaan dengan beredarnya video 30 Second to Mars yang berjudul King and Queen. Dalam video ini memang sepeda digunakan sebagai properti utama video yang bertema “Stop memproduksi kendaraan baru jika kita bisa memanfaatkan yang lama, seperti sepeda.”
Namun fungsi sepeda kemudian bergeser semacam menjadi fashion. Dimanapun anda melihat fixed gear, sepeda ini tidak ada yang biasa saja mulai dari warna, selalu berwarna-warni.Lalu pengendaranya pun tak mau kalah, dari mulai kaos, celana, sepatu atau topi yang dipakai itu semua barang bermerk yang mahal. Yang tak kalah menggelitik, mereka hanya bersepeda ketika malam suatu hari saja, ramai-ramai menggowes keliling kota, dengan sepeda dan pernak-pernik fashion yang warna-warni.
Pernah suatu malam saya melihat lima orang pengendara sepeda fixie, dengan sepeda warna-warni, kaos dengan merk distro, sepatu dengan merk sport warna-warni, beberapa memiliki headphone di telinga mereka, sedang beriringan bersepeda santai di tengah hujan. Apa ini? Apa iya jika bersepeda itu sehat jika di tengah hujan? Apa yang sedang mereka sampaikan? Saya hanya tertawa dalam hati, saya tidak bermaksud mengejek, ini hanya sebuah kritik saya tentang semakin tragisnya teman-teman saya yang muda, bersemangat tapi lalu larut atas arus kebanyakan, seakan itu adalah identitas mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H