Lihat ke Halaman Asli

Kala Suku Laut Dibodohi Alam

Diperbarui: 25 Juni 2015   06:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1335527501296486103

Kedua kaki berbentuk seperti sirip ikan itu dipegang erat. Kala kaki kiri menendang, kaki kanannya tak kalah meronta minta dilepas. Kepalanya terkulai lemas. Walau begitu, berkali-kali kali lehernya yang sudah terbelah pisau berusaha menegakkan kepala.

Padahal isi perutnya sudah dipotong-potong menurut bentuknya masing-masing. Satu persatu, dari lambung, limpa, hati, usus dikeluarkan dari tubuhnya. Kulit tutup dadanya sudah disingkarkan diawal. Entah sengaja dijemur atau hanya diletakkan begitu saja. Jantung penyu sisik masih berdenyut. Dekat sekali dengan pangkal lehernya. Darah masih mengalir di leher, juga menggenang di tubuh yang dilapisi tempurung. Jantung sampai kepala masih hidup. Kepalanya tetap meronta. Tapi kali ini, ketika bagian tubuh yang menghubungkan jantung dengan ekor dan kakinya tak ada lagi, kedua kaki itu tak bergerak lagi.

[caption id="attachment_177555" align="alignright" width="300" caption="Hanya dimakan, bukan dijual (Foto THF/nuk)"][/caption]

Dalam bulan ini, sudah dua kali aku menyaksikan penyu yang masih mencoba mempertahankan hidup walau bagian-bagian tubuhnya. Kali pertama dilakukan oleh Kincil (13), anak laut yang kini telah bersekolah di sekolah dasar. Kelas 1. Hanya satu (1) dari dua (2) penyu yang didapat kusaksikan ‘penyembelihannya’ oleh Kincil. Kali kedua oleh Ujang (27) dan Idi (27), hasil tangkapan Nodi (25).

Tiga penyu lain, satu ditangkap bersamaan dengan penyu sisik yang disembelih Kincil, satu penyu berukuran besar yang ditangkap pasangan Nadim-Imah. Satu penyu bermotif bunga-bunga warna merah tua dan coklat susu, berukuran besar panjang sekitar 80 cm, hasil tangkapan Ta, ayah Kincil.

Tak laku jual

Semalam, Iyus (14), abang Kincil anak Suku Laut di Kelompok Akob yang tinggal di Dusun Tajur Biru, Desa Temiang, Kecamatan Senayang, Kabupaten Lingga, mengatakan, “Mau ke Selat Pintu, cari penyu.” Bersama Nodi, Kincil, dan Jun (12), berangkat sore saat cuaca mulai teduh usai hujan mengguyur sepanjang hari.

1335527654848848840

Dini hari, Dhanik mengatakan jam 2 pagi usai menengok jam di hpnya, kudengar pompong datang. Dalam kantuk kudengar Nodi, demikian kupanggil anak kelima Akob-Rusniah ini, berujar, “Dapat sisik,” pada Pak Akob yang terjaga.

Maka, sejak aku berada di komunitas suku asli (indegenous people) yang kerap juga disebut Orang Laut , dalam rentang waktu 25 hari ini, sudah lima (5) ekor penyu didapat dengan ditombak. Dua (2) ekor jenis sisik ditombak dengan tombak mata dua yang biasa disebut ibul.

“Penyu- sisik tempurungnya keras, Nuk, jadi harus pakai ibul. Kalau penyu bisa pakai serampang. Penyu –tempurungnya- lembek sikit,” jelas Nodi. Serampang yang disebutnya adalah tombak dari bambu atu buluh yang diberi mata tombak empat hingga lima, dari ukuran kecil sampai besar.

Kala mendapat penyu, daging biasanya dibagikan ke seluruh anggota kelompok yang berjumlah 12 keluarga. Jika ukurannya jumbo, daging penyu bisa dimakan sebagai lauk hingga dua sampai tiga kali makan. Di lidahku, penyu berasa dan berbau seperti daging kambing. Sedangkan penyu sisik, terasa lebih alot atau keras. Lebih dari 10 menit setelah aku disuguhi gulai sisik, kepalaku berputar. Begitu pula Dhanik.

Mamak, istri ketua kelompok Akob saat kali pertama menyuguhi penyu sisik, mengatakan padaku, “Mamak kalau habis makan sisik pasti pusing. Jadi mamak kurang suka. Sisik juga tak banyak daging seperti penyu, Nuk.”

Menurut mamak, penyu yang diperoleh dari menombak tidak pernah dijual. “Kalau di sini tak laku jual, Nuk. Pak Acai tak mau beli penyu. Kalau di Batam ada orang yang mau –beli, tapi ongkosnya ke sana kan mahal. Minyaknya habis banyak kan,” tambah mamak. Pak Acai merupakan salah satu toke yang ada di Dusun Tajur Biru.

Namun, lain waktu Pak Akob pernah mengatakan bahwa ketika dia masih kuat dan tidak sakit-sakitan, bersama anak atau saudaranya kerap membawa penyu ke Singapura. “Aiy, kalau ke Singapur tak dibilang lagi ah. Mereka mau beli apa saja. Penyu, sisik, dibayar mahal. Orang sana apa saja mau dimakannya. Kalau sekarang bawa ke Singapur, teruk (payah) Bapak. Bawa ke Batam saja rugi. Jadi dimakan sendiri saja.”

Dibodohi angin

Perusakan ekosistem laut oleh orang yang ingin mendapatkan banyak dengan cara instant, mempengaruhi penghasilan Suku Laut yang masih mencari hasil laut dengan cara tradisional, tak terkecuali kelompok Akob. Hasil tangkapan ikan yang dulu bisa mencapai 30-50 kg dalam semalam, kini seolah hanya menjadi kisah masa lalu.

“Aih, Nuk, Di Pulau Baru tuh macam sorganya ikan dulu. Sekarang ada orang bom ikan. Ah, macam mana... Karang rusak. Dulu semalam bisa dapat puluhan kilo, sekarang mana? Kalau kata kita, rumah kita dirusak, kita tak dapat tidur. Ikan pun begitu kan? Ada orang kasih tuba –cap- tengkorak. Satu (1) kali dituba, mau tiga bulan, empat bulan, ikan tidak mau ke darat. Rumahnya dirusak, ikan tak punya rumah lagi. Tak bisalah ikan punya tempat buat telurnya kan? Hidupi anak-anaknya. Sekarang tak dapat makan lah kami,” tutur Pak Akob. Sesekali dihisapnya kipal tembakaunya yang kembang kempis kehabisan api.

Selain perusakan ekosistem laut ‘secara langsung’, perubahan iklim yang terjadi belakangan ini juga sangat berpengaruh pada kehidupan Orang Laut. Musim angin sudah tidak dapat diandalkan lagi. Kehidupan menjadi terasa lebih sulit ketimbang dulu.

[caption id="attachment_177557" align="alignleft" width="300" caption="Pak Akob tengah menyiapkan serampang, salah satu alat tradisional Suku Laut"]

13355279231073085386

[/caption]

“Dulu bulan lima, bulan enam, dulu berhasil. Sekarang tombak tak dapat. Inilah sekarang kerja kajang. Sudah bertahun-tahun ini teduh tak ada. Jadi perhitung –an- waktu dulu tak ada lagi sekarang. Kalau kita ini sekarang macam –orang- bodoh. Kita sekarng macam dibodohi angin. Tak bisa hitung lagi. Badai, ribut ada terus! Tak ada teduh. Dulu bulan dua, bulan tiga teduh. Kita bisa tombak. Sekarang bulan empat, bulan- lima sudah melewat, tak ada teduh. Kita teruk. Tak dapat makan. Akh, angin sudah tidak tentu,” keluh ayah enam anak ini panjang.

Suku Laut yang mendiami Pulau Air Bingkai, kerap disebut Pulau Temiang ini secara tradisional menangkap hasil laut dengan mengandalkan pada musim angin. Mereka membagi menjadi beberapa musim angin, seperti musim selatan, barat, timur, dan watara atau utara. Dari perhitungan musim, suku asli ini bisa mengakali angin dengan cara berbeda. Anak-anak biasa nyandit yaitu mencari nos atau sejenis cumi-cumi dengan cara memberi umpan ‘udang’ yang digoyang-goyang pelan sambil sampan terus berjalan. Ngedik atau mancing dengan umpan siput atau memakai janggut nos. Nyomek, yaitu mengambil nos dan sotong dengan cara menyiduk dengan jaring tangan. Cara yang paling umum jika angin teduh adalah dengan menombak. Namun, kerusakan alam membuat orang laut harus terus belajar ‘mengakali alam’ dengan cara tetap arif seperti yang diajarkan moyang mereka dulu.

Tajur Biru, 25 April 2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline