Benar juga, setelah menunggu detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hingga hari berganti, kabar angin yang saya dengar dari tetangga terbukti juga. Jika sebelumnya saya mendapat ‘amplop’ dari Caleg PAN dan Golkar, kali ini saya mendapat serangan malam –bukan lagi serangan fajar karena selalu diantar sore atau malam- dari Gerindra, partainya Prabowo. Seorang ‘tukang pos’ mengantarkan jatah itu sambil berpesan, “Coblos jeneng sing iki yo (coblos nama yang ini ya).”
Usai 'tukang pos' pamit, saya buka amplop putih berukuran sedang itu. Kartu bergaris pinggir kuning, bertanda nama H. Bambang Riyanto, SH, MH, M.Si yang merupakan calon legislatif DPR RI Dapil Jateng V -Sukoharjo-Solo-Klaten-Boyolali. Sedangkan satu kartu bergaris pinggir hijau tertanda nama Yoshua Sindhu Riyanto, SH, Caleg DPRD Kabupaten Sukoharjo, Dapil IV Kec. Grogol. Dua orang ini membeli suara saya hanya sebesar Rp 30.000! Karena isinya dua nama, caleg-caleg ini menghina saya dengan hanya membayar Rp. 15.000/orang!
[caption id="attachment_319274" align="aligncenter" width="547" caption="Caleg Gerindra H. Bambang Riyanto, SH, MH, M.Si dan Yoshua Sindhu Riyanto, SH (foto oleh Ninuk Setya)"][/caption]
Siang tadi, saya dengar pembicaraan beberapa tetangga yang tengah nyantai di halaman masjid bahwa mereka gagal dapat uang dari Caleg PAN. “Tiwas motokopi KTP. Jare kecekel Panwaslu wonge (Terlanjur memfotokopi KTP. Katanya –caleg tersebut- ketangkap oleh Panwaslu),” tutur Nugroho.
Benjo yang juga ikut nimbrung dalam pembicaraan itu menimpali, “Caleg do goblok. Mbagek-mbagekke duit, rangertio sing dipilih dudu wonge. Yen ora yo saking bingung kabeh ngek’i duit, coblosi kabeh ben adil (Caleg kok bodoh. Membagi-bagikan uang, tidak tahu kalau yang dipilih bukan dia –yang memberikan uang sogokan. kalau tidak, karena bingung semua kasih uang, dicoblosi semua biar adil)!”
Di ingatan saya, tiga (3) kali pemilu (saya lupa pemilu caleg atau pilpres) yang tengah berlangsung, kampung saya, Kampung Gambiran, Kelurahan Cemani, Kecamatan Grogol, Sukoharjo, selalu menjadi ajang bagi-bagi barang atau uang. Kerap kali pula saya dengar komentar beberapa tetangga yang menerima amplop, “Terima uangnya, pilih yang menjadi pilihan kita.”
Dari sisi kacamata mereka, uang yang memang tidak seberapa besar –paling besar seingat saya hanya Rp 50.000- menjadi sangat berarti untuk menambah uang belanja. Pekerjaan sebagai tukang bundle kain, buruh pabrik, buruh warung makan, tukang cuci dengan penghasilan minim membuat amplop-amplop yang bertebaran dari para calon wakil rakyat menjadi rejeki dadakan. Walau umumnya sebagian tetangga saya tidak menyadari jika mereka ‘kepencut’, lalu menetapkan pilihan pada para calon perampok uang rakyat ini, bubar segera ini negara! Padahal dalam keseharian dari mendengar obrolan-obrolan ringan, umumnya mereka muak dengan berita-berita terkait korupsi yang juga melibatkan wakil rakyat.
Saya sendiri malas berpikir, bagaimana partai politik merekruit calon-calon koruptor ini? Barangkali ini menuduh sebelum terbukti. Namun, logika bodoh saya -barangkali banyak juga yang berpikir bodoh seperti saya, bagaimana mengembalikan modal kampanye jika tidak dengan merampok uang rakyat? Kok saya pesimistis caleg-caleg bodoh ini akan ikhas dan jujur dalam bekerja, serta benar-benar peduli dengan rakyat yang diwakilinya. Bagaimana mereka peduli kepapaan rakyat jika sejak mencalonkan diri saja sudah menghina dina rakyatnya sendiri dengan hanya membayar sangat murah suara rakyat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H