PART I
Apakah cinta adalah tentang memiliki? Atau cinta adalah tentang memberi?
Bulir-bulir air hujan bergulir dari tepi payung hitam. Siang itu hujan turun lembut. Seolah bukan hujan, namun terlalu lebat untuk disebut gerimis. Suasana sejuk yang mendamaikan menaungi kota Sukakarya. Kelabunya langit yang menggelayut menimang-nimang kesedihan keluarga yang berduka di salah satu rumah.
Pria dengan payung hitam melipat payungnya di depan rumah duka. Setelah mengibaskan sisa air pada payungnya, ia menyandarkan payung tersebut ke dinding kemudian meletakkan sepatunya di rak yang tersedia. Tampak beberapa pelayat telah datang.
Keluarga yang berduka tampak berkumpul di sudut ruangan, dekat dengan peti jenazah dengan kepala yang tertunduk dan tubuh yang lemah oleh rasa kehilangan yang tiba-tiba. Pagi tadi, putri keluarga tersebut meninggal karena keracunan asap dalam sebuah tragedi kebakaran.
Pria itu kemudian duduk sendiri di alas tikar yang di sediakan. Dengan sengaja ia menghindari barisan pelayat lainnya. Dari tempat duduknya ia memandangi peti jenazah tanpa berkedip.
Bayangan tentang tubuh yang kini berada dalam peti tersebut memenuhi pikirannya. Tubuh yang kini terbaring dingin tersebut dulu pernah hidup dan bersepeda di sisinya.
Namanya Mentari. Gadis yang kini telah meninggal itu bernama Mentari. Umurnya baru menjelang 19 tahun. Mentari adalah gadis dengan paras yang unik. Kedua matanya sipit selalu berubah menjadi garis lengkung ketika tersenyum sebagaimana ayahnya.
Hidungnya pesek seperti hidung bibinya. Namun bentuk alis dan bibirnya sungguh keindahan yang sering disangka merupakan hasil rombakan dokter. Meskipun tidak dikenal sebagai gadis cantik di kota kecil itu, namun sebenarnya Mentari adalah gadis yang menarik. Otot-otot wajahnya sangat ekspresif karena Mentari begitu jujur dan apa adanya terhadap emosi yang dirasakannya.
Mentari anak yatim piatu. Segera setelah ayahnya meninggal menyusul ibunya yang telah tiada lima tahun sebelumnya, bibinya membawa Mentari untuk tinggal bersama di kota Sukakarya.
Mentari baru memasuki semester pertama di bangku SMP ketika menjejakkan kaki di kota Sukakarya. Ia tidak mudah beradaptasi dengan kedukaan, perpisahan dan perubahan hidup yang tiba-tiba.