Saya baru saja mengetahui bahwa saya terdiagnosa HIV positif, apa yang harus saya lakukan?
Pertanyaan seperti ini sudah beberapa kali saya terima dari beberapa orang yang pernah memiliki riwayat perilaku seks sesama jenis yang tidak aman. Yang pasti saya ikut bersedih, sangat amat bersedih. Kenyataan bahwa dewasa ini masih terus saja berkelanjutan munculnya "narendra-narendra" lain.
Jumlah pengidap HIV di Indonesia belakangan telah didominasi oleh kami dengan faktor resiko perilaku seks sesama jenis dengan tidak aman pada usia produktif.
Kembali pada pertanyaan di atas, jadi apa yang harus dilakukan. Kalau menurut saya, kita yang baru saja terdiagnosa HIV harus belajar menerima diri sendiri, belajar menerima kenyataan, belajar berdamai dengan diri sendiri. Sedih boleh, ya pastilah sedih. Tapi jangan berlarut-larut dalam kesedihan itu, masa lalu ngga bisa diputar, sadarilah bahwa kita hidup untuk hari ini dan hari esok jadi yang tersisa masih ada masa depan untuk kita.
Menjadi seorang pengidap HIV bukan berarti saya tidak memiliki masa depan lagi, bukan berarti saya tidak bisa hidup normal, bukan berarti saya kehilangan kehormatan harkat dan martabat sebagai manusia dan bukan berarti saya tidak bisa menjadi seorang yang berguna. Jadi tidak perlu membebani diri dengan pikiran negatif, itu point nomor duanya.
Semuanya dimulai dari diri kita sendiri saya rasa, bukan orang lain, bukan pemerintah, bukan psikolog, bukan dokter, bukan pemimpin rohani. Maksudnya adalah ketika kita memutuskan untuk berdamai dengan diri sendiri dan berusaha untuk bangkit adalah keputusan mutlak yang menjadi tanggung jawab kita sendiri.
Baru saja terdiagnosa HIV, saya sedih dan ngga tau harus bagaimana. Saya merasa ngga sanggup hidup lagi, apa perlu memberitahu orang lain mengenai status saya?
Orang lain siapa? Buat apa? Supaya dikasihani terus dipeluk terus nangis bareng? Kalau menurut saya jangan dulu, belum tentu orang lain bisa menerima diri kita, bisa-bisa malah kita dijauhi. Usahakan emosi sudah stabil baru deh kalau mau cerita ke orang dekat atau keluarga silahkan tapi tetap dengan kemungkinan terburuk ya. Jadi saya rasa di awal-awal cukup tim medis yang mengetahui status kita kemudian pasangan kita yang tujuannya supaya sama-sama mengetahui status kesehatan lebih dini sebelum terjadi infeksi penyakit lain dan syukur-syukur memutus mata rantai penyebaran virus.
Jadi bagaimana kalau saya sedih?
Saya rasa lebih efektif apabila kita mendekatkan diri pada Sang Pencipta. Dia hanya sejauh doa, mencurahkan isi hati, mencurahkan kesedihan dan memohon kekuatan.
Kenapa harus saya, kenapa bukan orang lain saja?
Karena saya yakin bahwa Tuhan tidak memberikan ujian melebihi kekuatan kita. Sehingga menurut Tuhan, kita ini sudah pada level "mampu" menanggung status baru kita. Iya memang kalau kita terinfeksi karena faktor resiko dari perilaku kita sendiri itu adalah hukuman dari Tuhan, tapi bagi saya kasih Tuhan itu kekal dan tanpa syarat sehingga Ia akan tetap melanjutkan kasih-Nya kepada kita. Menjadi seorang pengidap HIV bukan berarti Tuhan tidak mengasihi kita lagi. Hore!!
Selanjutnya Berobat !!!
Pakai tanda seru nih... tiga lagi
Artinya berkonsultasi dengan dokter yang kompeten dan menjalani pengobatan yang disarankan. Balik lagi ke kita bahwa semua ini tergantung keputusan kita. Jaman sudah modern, saya heran di tahun 2017 masih saja ada yang menolak terapi ARV.
ARV - Anti Retroviral memang tidak membunuh virus tetapi bertujuan mengendalikan jumlah virus dalam tubuh kita, menekan laju perkembangan virus bahkan sampai jumlah virus begitu rendah sehingga menjadi tidak terdeteksi oleh tes viral load, seperti yang saya lakukan tahun lalu, memang bukan berarti saya sembuh tetapi jumlah virus yang tidak terdeteksi tetap dimungkinkan adanya virus dalam tubuh kita yang setiap waktu dapat berkembang sehingga terapi ARV ini tidak boleh saya hentikan kecuali atas perintah dokter.