Lihat ke Halaman Asli

Melajang Seumur Hidup?

Diperbarui: 17 Desember 2016   01:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lebih dari sepuluh tahun lalu ketika masih remaja saya pernah merenung. Pertanyaan dan pernyataan yang terbesit dalam hati kecil saya, apakah saya diciptakan untuk sendirian seumur hidup saya. Hal itu masih teringat hingga saat ini.

 Meskipun mungkin beberapa orang bisa menerima dan berkeinginan untuk hidup bersama saya tapi kenyataannya bahwa saya adalah orang yang terlalu mendambakan kesempurnaan. Sekalipun saya sadar bahwa saya tidak sempurna namun sulit bagi saya untuk menolerir kekurangan orang lain.
 Kalau saya diciptakan untuk melajang seumur hidup, lantas apa sebenarnya tujuan hidup saya.

 ****
 Masih ingat "Nicko" seorang pegawai maskapai penerbangan terbaik di Indonesia yang sempat dekat dengan saya beberapa tahun lalu di ibukota? Beberapa waktu yang lalu dia mengajak saya travelling ke sebuah pulau yang indah. Setelah tarik ulur, tarik ulur akhirnya jadilah kami vacation ke sana. Tiket dan penginapan telah kami atur bersama-sama. Kami berangkat dari kota kami masing-masing untuk bertemu di sana pada hari yang sama dengan jam kedatangan yang hampir bersamaan.

 Saya butuh refreshing, tubuh saya berbicara lebih jujur daripada pikiran saya. Mungkin itulah point kompromtif saya mengiyakan ajakannya.
 Tiap kali tubuh saya bermasalah dokter selalu bertanya kepada saya, "Kenapa? Stres kerjaan ya?" Jawab saya, "Wah kalau stress ukurannya apa ya dok? Saya kurang tahu?"

 Masalah nanti di hotel terjadi "hal-hal yang diinginkan" gimana ya... padahal beberapa waktu yang lalu saya sudah komitmen untuk semampunya menjalin kembali relasi dengan Tuhan.

 Jadilah saya bertemu lagi dengan "Nicko" yang sudah beberapa tahun terakhir kami tidak bertemu, dia telah lebih dahulu landing dan kisah pun dimulai. Senyumnya yang ramah dan karakternya yang hangat kepada semua orang kembali mengingatkan saya akan pribadinya dan awal perkenalan dengannya dulu walau sebenarnya masa lalu itu tak kan pernah bisa terulang lagi. Dia sangat hangat menjalin komunikasi dengan orang asing yang kami temui, berbeda sekali dengan saya yang terbiasa menjaga jarak dengan orang asing. Keramahannya kepada orang asing pun lambat laun membuat saya merasa seperti patung.

Jadilah doa saya terjawab, sikapnya sudah ngga romantis seperti dulu. Saya pikir akan menghabiskan waktu yang indah berdua dengannya di sana tetapi kenyataannya dia sibuk dengan orang asing, sibuk dengan gadget-nya, sibuk menikmati dunianya sendiri. Sedangkan saya ngga diperhatiin sama sekali. Mimpi indah melihat sunset di pantai sambil bergandengan tangan hanya sebatas mimpi. #gigitjari

 Karena saya pikir saya sudah menghabiskan uang yang tidak sedikit buat saya jadi ya tetap pada tujuan utama : saya mau refreshing, ada atau tidak ada dia saya ngga peduli. Hingga liburan berakhir saya berhasil memelihara iman dan tidak jatuh dalam dosa. Memang benar bahwa Tuhan tidak memberikan "ular" kepada mereka yang meminta "roti".

 ****
 Tuhan, saya kesepian
 Rindu sebuah pelukan
 Tangan yang hangat ketika saling berpautan
 Mata yang indah dan menawan
 Senyum yang manis dari seseorang

 Tuhan, saya merasa sendirian
 Tiada seorangpun yang menenangkan
 Entah adakah hati tempatku bersandar

 Tuhan, saya rindu disayang
 Seseorang yang memperhatikan
 Dan ketika pagi tiba ada sosok yang terngiang
 Tapi hanya ada saya sendirian
 Tanpa seorang pun yang terkenang
 Kenapa dalam hati hanya kekosongan
 Tuhan, apakah saya memang diciptakan untuk sendirian

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline