Seorang teman pernah bilang: "Gila sekarang harga ojol makin mahal! Nggak ngerti lagi nih gw harus gimana. Gue sekarang udah nggak bisa lepas dari ojol sih. Angkot udah nggak ada yang lewat lagi di sekitar rumah gue. Jadi ya gw harus naik ojol sampai halte, baru lanjut naik bus ke kantor."
Sementara teman lain juga bilang: "Udah nggak bisa mikir gue kalau udah sampai rumah, capek banget. Nggak mungkin masak-masakan, ya palingan pesan makanan aja dari G*Food, praktis. Lagian lebih murah juga sih gara-gara dapat promo terus."
Dan makin ke sini, rasanya obrolan seperti itu makin sering saya dengar. Apa yang sedang terjadi? Apakah benar gaya hidup kita sedang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan penyedia layanan yang memudahkan hidup atau lebih tepatnya perusahaan pengubah gaya hidup (lifestyle-adjustment companies)?
Diawali dengan maju pesatnya sebuah perusahaan penyedia angkutan ojeg daring, orang Indonesia mulai mengenal kemudahan dalam hal bertransportasi umum. Mereka yang tadinya ke mana-mana harus membawa mobil sendiri dan terkena macet, mulai menikmati kemudahan yang ditawarkan oleh perusahaan ini.
Mereka yang tadinya enggan naik kendaraan umum karena bingung harus mulai dari mana, sekarang bisa memanfaatkan kemudahan ojeg daring untuk mengantarnya ke pemberhentian kereta atau bus terdekat lalu begitu turun dari bus atau kereta langsung bisa lanjut lagi naik ojeg daring dan berhenti di depan pintu kantor atau tempat beraktifitasnya.
Tentu saja pengenalan akan "kemudahan" itu diawali dengan aneka tawaran harga yang sangat murah bahkan bisa dibilang tak masuk akal hingga semua orang mau mencobanya. Bukan hanya harga murah, dulu di awal kelahirannya, perusahaan penyedia aplikasi ojeg daring ini bahkan memberi uang kepada tiap pelanggan yang mampu menarik pelanggan baru.
Dari ojeg daring, secara perlahan tapi pasti bisnisnya merambah ke pengantaran barang dan berlanjut ke pemesanan dan pengantaran makanan. Tidak berhenti sampai di situ, sekarang hampir semua lini kehidupan dirambah oleh aplikasi ini. Mulai dari pembayaran listrik sampai ke beli sandal jepit di toko swalayan. Dari tambal ban mobil sampai ke beli tiket pesawat. Semua ada di sana.
Semua terlihat mudah dan murah pada awalnya. Semua berkat gelontoran uang triliunan Rupiah demi membentuk sebuah gaya hidup baru. Namun sampai kapan ini akan bertahan?
Pada titik tertentu perusahaan pembentuk gaya hidup ini tentu akan kembali ke khitahnya yaitu meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Bila saat ini mereka sedang "bakar duit" demi membentuk gaya hidup, maka ketika gaya hidup itu sudah terbentuk, mereka akan mulai memanen hasil yang sudah mereka tanam selama ini.
Ada dua kemungkinan yang akan terjadi memang: Pertama adalah kolapsnya perusahaan-perusahaan pembentuk gaya hidup yang gemar "bakar duit" karena kehabisan uang untuk mensubsidi konsumennya. Hal ini bukan tak mungkin bila melihat perusahaan besar seperti Uber yang dari luar terlihat begitu kuat dan menggurita rupanya diprediksi akan kehilangan 8 juta Dollar Amerika tahun ini. Begitu juga Blue Apron dan WeWork.
Kedua, karena besarnya modal yang ada di perusahaan-perusahaan pembentuk gaya hidup itu maka konsumenlah yang akhirnya harus membayar lebih mahal gaya hidupnya yang sudah terbentuk sebagai "balas dendam" dari perusahaan-perusahaan yang selama ini sudah "bakar duit" itu.