Beberapa hari lalu saat sedang makan di sebuah warteg di bilangan Kukusan, Depok, secara tidak sengaja saya mendengar sebuah berita tentang usul larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi untuk mencalonkan diri dalam pemilu legislatif. Berita itu kemudian berlanjut dengan riuhnya tanggapan dari para legislator yang mempertanyakan dasar hukum larangan itu. Umumnya mereka mengatakan bahwa bila tidak ada dasar hukumnya maka aturan itu tidak bisa diterapkan.
Apa ada yang salah dengan penolakan pernyataan para anggota legislator tersebut? Tentu tidak! Karena negara ini adalah negara hukum dan jamak kita dengar bahwa hukum telah berpangkat panglima di negeri ini. Makanya semua hal harus didasari atas hukum yang harus tertulis dengan terang-benderang.
Cerita lain datang dari seorang penegak hukum. Ia yang jelas-jelas sudah dua kali dikenai sanksi oleh dewan etik, tak mau turun dari jabatannya karena memang tidak ada hukum tertulis yang mengharuskan. Jadilah ia tetap menjadi seorang pemutus perkara keadilan.
Apa ada yang salah dengan tidak turunnya penegak hukum itu dari jabatan? Tentu tidak! Kan memang hukum tertulisnya tidak mengatur.
Sekarang pertanyaannya, kalau hukum sudah berpangkat panglima, apa pangkat etika dan tata krama? Di mana kita letakkan akal sehat atau common sense yang menurut Wikipedia artinya adalah "sound practical judgment concerning everyday matters, or a basic ability to perceive, understand, and judge that is shared by ("common to") nearly all people," alias hal-hal mendasar yang merupakan nilai yang sama pada setiap manusia.
Apa iya ketika hukum dijunjung tinggi-tinggi, maka etika dan tata krama (yang biasanya tidak tertulis karena adalah common sense alias akal sehat) kita injak serendah-rendahnya hingga hilang daya nalar dan nilai-nilai kemanusiaan kita? Kalau memang itu yang terjadi maka tak salah kalau ada yang bilang bahwa politik kita mengalami kemajuan pesat namun peradaban kita mundur.
Sekadar mengingatkan, bahwa kata peradaban terambil dari kata dasar adab, yang menurut KBBI berarti kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak. Semua nilai itulah yang ada dalam etika dan tata krama.
Saat peradaban mundur, maka tontonan sehari-hari kita adalah pertunjukan manusia-manusia tanpa adab. Tidak ada lagi rasa malu. Pelayan masyarakat yang tertangkap tangan mencuri uang rakyat tetap tanpa malu melambaikan tangan bak selebritas di depan kamera TV. Bahkan ketika terbukti bersalah dan dihukumpun, ia tetap tak malu untuk mencalonkan diri lagi menjadi orang yang hendak memegang jabatan yang adalah kepercayaan alias amanah.
Pagi ini saya mendengar sebuah penggambaran apik tentang para mantan koruptor. Mereka disebut sebagai orang-orang yang pernah dipercaya untuk mengakses uang rakyat dan rupanya akses tersebut malah dipakai untuk memperkaya diri sendiri. Apakah orang-orang seperti ini menurut akal sehat tidak boleh dilarang untuk punya akses ke uang rakyat lagi?
Hal lain yang menarik tentang diangkatnya hukum sebagai panglima adalah bahwa hukum di negeri ini masih sering berat sebelah, timpang, dan terseok-seok sehingga sulit untuk dijadikan sandaran. Sang panglima masih sering intip sana-sini, melihat-lihat siapa yang sedang tersangkut masalah hukum. Bila punya banyak akses pada kekuasaan, baik besar maupun kecil, maka ada kemungkinan jerat sang panglima bisa dilonggarkan.