Bocah-bocah kota menari dengan bajunya yang compang-camping
Ditandangnya senyum mewah yang dijualnya di jalan-jalan
Di pasar-pasar
Ditukar dengan cercaan
Bocah-bocah kota bernyanyi di berisiknya mulut-mulut cibiran
Pada telinga yang tuli
Pada nurani yang mati
Meninggalkan nisan tak bernama
Tak berbapak
Bagaskara menyulutkan lidah api
Mereka bermandikan keringat daki
Diusap sapu tangan kumal yang terbuat dari dedaunan senja
Lalu gemuruh langit meninabobokan heningnya
Dirayakan derai hujan yang menawarkan kehangatan
Bocah-bocah kota berlarian
Bernyanyi-nyanyi lagu paling syahdu
Jemarinya menjelma payung
Yang menghangatkan tubuh kota
Mulutnya menengadah
Menjilati hujan dengan bibirnya
Makan tiada ... Huma tiada ...
Tetapi seakan dunia adalah miliknya
Di manapun ia rebah raga
Bertelanjang pun tak apa
Tak apa ia dikatai gila
Siapa yang lebih gila?
Mereka, atau mereka-kah yang hanya melihat yang gila
Bertelanjang jaga
Di usus kota
Subang, 17 Juni 22
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H