“Nadia jelek ...!”
“Nadia bau ...!”
“Jijik banget deket dia ... jangan ditemenin!”
“Pergi saja sana! dasar jelek!”
Kepalaku terus saja berisik, seperti kaset kusut yang berputar. Semakin lama semakin membuncah, cekamannya semakin kuat mencabik-cabik pikiranku. Lontaran itu sudah seperti makanan sehari-hari yang harus kutelan sepanjang hidupku. Datang bertubi-tubi seperti gemuruh guntur yang merobek-robek pendengaranku.
Tapi siapa yang peduli? Meski seluruh tubuhku berdarah tak ada seorang pun yang mempedulikanku. Dunia mendidiku dengan cara seperti itu. Kenapa aku tidak bisa menawarnya dan menggantikan nasibku dengan mereka? Bukankah ini terlalu kejam untuk anak diusia sembilan tahun?
Aku selalu memakai parfum paling wangi saat itu, wajahku tidak terlalu jelek, pakaianku rapi, bahkan kusisir rambutku.
Lantas kenapa aku selalu diejek? Dunia bahkan tak dapat menampung semua air mataku saat kutatap diriku sendiri yang begitu mengenaskan.
Jika tak ada yang mencintaiku, haruskah aku membencinya juga? Atau apa aku harus lari dari dunia ini?
Saat ini aku masih menangis tersedu-sedu memeluk kedua lututku di dalam toilet di sekolahku. Aku menyalakan keran air dan mengunci pintu agar tak ada yang dapat mendengar tangisku. Tetapi, kalaupun mereka mendengarnya toh tidak akan ada yang peduli. Namun untuk sebentar saja ... hanya sebentar saja aku ingin bersembunyi dari cercaan orang-orang itu.