Aku tersenyum menyambut swastamita di gazebo rumahku bercampur dengan kepingan kenangan yang tak pernah absen dalam pikirku.
"Delapan belas tahun sudah berlalu," gumamku. Aku masih setia menatap senja yang sama, seperti bagaimana kita dulu.
"Lupakan dia, ca .... " tandasnya yang tiba-tiba membuyarkan lamunan indahku tentangnya.
Aku tidak sedikitpun mengalihkan pandangananku. Tidak ada yang lebih menarik dari dirinya dan senja.
"Sampai kapan kamu akan terus menyiksa dirimu seperti ini, ca? Bahkan dia sama sekali tidak pernah memikirkanmu!" teriaknya di depan mataku.
Perkataannya membuat atmaku terluka. Mengapa dia selalu saja mengaturku? Mengatur rinduku? Mengatur perasaanku?
Air mataku memburai. Aku menatapnya dengan tatapan benci. Sementara dia ..., dia selalu saja memperlihatkan kehangatannya saat menatapku, membuatku merasa berdosa saat aku menyakitinya. Dan aku benci perasaan itu!
"Aku mencintainya..." lirihku. Dia terdiam cukup lama. Aku tau, dia terluka dengan perkataanku. Lama, aku tak mendengar suaranya.
"Maafkan a_" Dia menutup mulutku dengan telunjuknya yang jangkung.
"Aku tau ca, aku akan memberimu waktu untuk bisa menggantikan posisinya," ucapnya lembut disusul dengan kepergiannya. Ada rasa sakit saat perlahan-lahan aku melihatnya semakin menjauh dan hilang ditelan jarak. Mungkin karena selama ini dia tidak pernah meninggalkanku seperti ini.