Lihat ke Halaman Asli

Radian A

Belajar jadi manusia

Cerpen | Gadis di Keremangan Malam

Diperbarui: 11 Maret 2020   19:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadis di Keremangan Malam (gambar: pixabay.com)

Malam merayap menuju pagi, dan kini, sudah pukul setengah lima. Mataku masih terbuka meski tubuhku telah terbujur ke utara. Tetesan darah segar masih mengalir dari sela-sela rongga dadaku dari sela-sela pisau yang dia tusukkan tadi.

Siapa yang tidak menginginkan pagi? Ketika malam terlalu mencekam untuk dilalui. Namun siapa perduli, hingar-bingar mata kota masih menyala. Kadang gelap dan berkedap-kedip.

Di sudut Cihampelas Kota Bandung yang tak lagi dingin, malam terasa lebih hangat. Beberapa jam yang lalu kita bertemu, pukul setengah dua belas tepatnya. Di sudut sebuah pusat perbelanjaan yang telah tutup. Di sana ada satu tempat yang justru sengaja baru beroperasi. Berlambang seperti bola dunia dengan bulatan-bulatan berwarna ungu sebagai logo tempat hiburan malam itu.

Aku masih bersandar di pintu mobil Yaris berwarna putih yang terparkir di halamannya. Sesekali jemariku mengecek layar ponsel menunggu kabar. Di hadapanku, beberapa perempuan berdandan cantik dan seksi berseliweran. Beberapa diantaranya mengerlingkan mata seolah menggoda.

Di sudut taman yang agak sepi, tiga orang lelaki mengeluarkan sebuah botol bekas air mineral dengan cairan berwarna kuning, sepertinya minuman beralkohol murahan. Dengan gelas plastik bekas pula mereka bergiliran meminumnya. Aku rasa mereka sengaja meminumnya sebelum masuk ke dalam tempat itu. Wajar saja, harga minuman di dalam sangatlah mahal.

Sebuah Honda jazz berwarna merah mengalihkan perhatianku. Dadang, seorang lelaki duda berusia belum tiga puluh gegas menyapaku setengah berteriak,

"Halo, Mas Bro!"

Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan mengangkat sebelah tangan. Di belakang Dadang ada Arif, yang tingginya tidak jauh berbeda denhan dua orang perempuan yang tidak aku kenal di belakangnya.

"Maaf, Bro. Agak telat karena harus menjemput mereka , habis manggung di kafe sebelah dulu," jelas Arif santai tanpa perduli aku hampir satu jam menunggu mereka.

Aku berjalan mendekat, lalu menyeret tangan Arif sedikit menjauh sambil berbisik, "mereka masih anak SMA kan, Bro!"

"Tenang aja, aman kalau ada, Aing." Sahut Arif menepuk dada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline