Menari di tempat hiburan malam,
Melempar senyum dalam diam,
Membuat hatiku remuk redam.
Berjalan gontai datang sang gadis,
"Hai," sapanya lembut terdengar manis,
Mengingatkan aku pada seorang aktris,
Malam itu sepertinya aku telah atheis.
Sebab Tuhan tertinggal di pintu belakang,
Dibalik bingar-bingar perempuan bergoyang,
Di dalam dekapan bidadari berambut pirang,
Anganku ke surga terbang melayang.
Malam jatuh terperosok semakin dalam,
membuat kami semakin tenggelam,
Melepas penat dunia yang berkelam,
Mencari kesenangan cinta satu malam.
"Hirup mah peurih," celetuk sang gadis,
Orang sukanya menghakimi sok agamis,
Mulut mencibir ngomongnya sinis,
"Ah, andaikan hidup tak terlalu sadis."
Di sudut gelap air matanya berlinang,
Menatap hidup jiwanya yang malang,
Mencari bahagia dengan bersenang-senang,
Rapuh hatinya ingin berkalang.
Dosa siapa dia jatuh begitu kelam?
Orang-orang yang hanya bisa berkalam?
Tanpa mau menyapanya dengan salam,
Apalagi mendoakan hatinya agar menjadi nilam.
"Ya, hidup memang sadis,
Orang lebih suka menghakimi dengan bengis,
Maka tak perlulah kau menangis,
Nyalakan lilin asa hatimu terus jangan habis."
Malam pun berlalu hari telah siang,
"Hai, Sayang." sapaku dengan riang setengah telanjang,
"Kamu siapa?" tanyanya gamang mencari kutang,
Dan Tuhan pun hadir mengacungkan parang.
Kra, 07032k20
Radian | Kompasianer Brebes KBC-20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H