Saat itu November 2019, bulan-bulan yang seharusnya sudah masuk musim penghujan, tetapi nyatanya malah terik matahari yang saya terima ketika menginjakan kaki lagi di Yogyakarta. Saya biasanya menghubungkan bulan-bulan yang berakhiran -ember dengan musim penghujan hehe. Jangan dipercaya tapi, tidak ilmiah! Hehe. Girang hati saya ketika ketika subuh hari sudah tiba di Lempuyangan, akhirnya saya kembali lagi ke Yogya untuk suatu acara, karena kalau sengaja main ke suatu tempat biasanya suka tidak terlakasana.
Entah hanya saya saja atau juga beberapa orang lain merasakan hal yang serupa. Kota Yogyakarta menghadirkan sesuatu yang magical. Tidak pernah bosan saya berkunjung ke kota itu lagi dan lagi, setidaknya sekarang belum bosan sih hehe. Acara yang saya ikuti selama empat hari itu terletak di salah satu hotel di Yogyakarta. Pada hari pertama sebelum acara dimulai saya jalan-jalan menyusuri kota Yogya Bersama teman-teman saya yang tinggal di Yogya. Berawal dari pasar Bringharjo hingga berakhir di alun-alun Yogya. Sungguh pagi yang menyenangkan, kecuali panasnya yang begitu menyengat, padahal saat itu baru jam 10 pagi.
Kegiatan saya dilanjut pada siang harinya menuju hotel yang ternyata jauh juga dari pusat kota. Saya tidak hendak menceritakan bagian ini karena bukan subtansi dari tulisan ini hehe. Singkat cerita, pada hari ketiga setelah selesai acara pada malam hari sekitar jam 10 malam, saya dan teman-teman pergi menysuri malam di Yogyakarta. Sekadar nyari gudeg atau apapun yang bisa dikenang dari Yogyakarta. Arena bermain saya saat itu berkisaran sekitaran Tugu Yogya dan Malioboro, saya libas semua itu dengan berjalan kaki. Selama berjalan kaki itu, pandangan saya ternganga melihat potret yang belum saya temui sebelumnya di Yogyakarta.
Para penarik becak, saya tidak tahu sih namanya apa kalau disana. Seperti semacam becak yang ditenagai motor, tapi ada juga yang masih dikayuh. Mereka tidur di dalam kendaraan sederhanya yang diparkir di pinggir-pinggir jalan. Potret mainstream sebuah perkotaan, segalanya terasa begitu kontras. Hingar-bingar kota saat pagi-siang-sore menjelang malam ternyata menyisakan kepiluan pada malam hari menjelang subuh. Saya yang sebenernya bukan orang kaya tapi berkehidupan cukup, sungguh pilu melihat itu semua. Saya kira setiap kota pun menghadapi kesenjangan yang serupa, yang entah saya yakin tidak akan pernah ada habisnya hingga nanti. Sebuah kota akan selalu begitu bagai nektar yang mengundang para lebah. Saya hanya berharap segala kemudahan semoga selalu menjadi milik mereka. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H