Pada kolom komentar di artikel saya berjudul: "Yuk, Belajar Sesat Pikir dari Tulisan Pepih Nugraha", terjadi pertukaran komentar antara saya dan Pepih Nugraha. Tanpa mengecilkan beliau, saya kira ada alasan-alasan yang kuat untuk percaya bahwa posisinya lemah secara logis, jika tidak ingin dikatakan tidak dapat dipertahankan.
Jika ada yang masih bertanya: "Apakah Napi punya hak untuk bermedsos atau memiliki akun online?" Jawaban saya tegas: Tidak! Napi tidak berhak bermedsos dan memiliki akun online ketika ia berstatus sebagai Napi hingga masa status tersebut berakhir. Bahkan akun online yang dimiliki Napi sebelum berstatus sebagai Napi pun, dilarang untuk aktif termasuk dihimbau agar pihak lain pun tidak mengaktifkan akun tersebut selama ia masih berstatus sebagai Napi.
Hal terakhir di atas yang terjadi pada, misalnya, Agus Warsito (politisi PKS yang dipidana terkait kasus upaya penggagalan Pemilihan Kades Jetak tahun 2008). Polisi mendapati akun FB Agus yang sudah dibuat sebelum menjadi Napi, aktif saat berstatus sebagai Napi. Ternyata anaknya yang mengaktifkan akun tersebut dan polisi meminta keluarga Agus untuk tidak mengoperasikan akun tersebut selama Agus berstatus sebagai Napi.
Jadi saya sangat heran ketika HAM disodorkan untuk menjustifikasi kepemilikan akun online Gayus Tambunan dengan nama akun Pakde Kartono di Kompasiana. Tidak ada HAM yang dilanggar untuk larangan di atas. Itu adalah konsekuensi dari kejahatannya yang telah diatur menurut UU.
Setelah begitu banyak argumen sudah dikemukan agar Kompasiana memberangus akun Pakde Kartono, namun semua itu ditolak begitu saja, saya tergelitik untuk bertanya: Apakah Kompasiana memang berniat mempertahankan akun tersebut, dan niat itu akan tetap diteruskan tidak peduli bahwa aktifnya akun tersebut merupakan pelanggaran hukum?
Mengingat kejahatan Gayus Tambunan tergolong sebagai salah satu dari tiga kejahatan luar biasa dalam konteks hukum Indonesia, maka pertanyaannya bisa diganti begini: Apakah sekarang saatnya kami harus percaya bahwa Kompasiana dengan sukarela menyediakan wadah bagi Napi kejahatan luar biasa ini untuk menyalurkan pelanggaran hukumnya dengan bermedsos ria di Kompasiana?
Tak usah lagi bertanya memangnya Napi tak boleh nulis? Tak usah pula bertanya emangnya Napi tak boleh mengeluarkan pendapat? Karena pertanyaan-pertanyaan ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang salah.
Silakan Gayus menulis buku di penjara dengan menggunakan kertas dan pena. Silakan dia menulis opini di selembar kertas untuk diserahkan kepada media cetak atau media online guna dipublikasikan, jika memang Gayus mau mengeluarkan pendapatnya seperti halnya Mallarangeng.
Tetapi Gayus tidak diperbolehkan untuk aktif langsung dengan akun Pakde Kartono. Karena untuk aktif secara langsung, ia harus menggunakan alat-alat elektronik. Dan penggunaan alat-alat elektronik oleh Napi merupakan sesuatu yang dilarang hukum semasa ia berstatus sebagai Napi. Bahkan seperti contoh dari Agus Warsito di atas, akun tersebut sebaiknya tidak diaktifkan oleh pihak mana pun selama Gayus masih berstatus sebagai Napi.
Bagi saya, ini menjadi ironis karena sementara pihak sangat concern terhadap hak Gayus Tambunan ketika hak yang diklaim tersebut tidak ada sama skali menurut UU bahkan merupakan sebuah pelanggaran hukum, sedangkan kita melupakan ratusan juta penduduk Indonesia yang hak mereka dikorupsi oleh Gayus Tambunan.
Dalam prinsip Utilitarianisme:"The greatest good for the greatest number of people." Prinsip ini mayor digunakan dalam bernegara. Tapi di sini, di Kompasiana, hak satu Napi kejahatan luar biasa bernama Gayus Tambunan (yang sebenarnya bukan hak melainkan pelanggaran hukum) menjadi sedemikian penting ketimbang rasa keadilan ratusan juta penduduk Indonesia.