[caption id="attachment_404982" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi, Internet (Shutterstock)"][/caption]
Kali ini saya hanya ingin menulis sebuah tulisan pendek berkait sebuah kriteria pembuktian yang dipopularkan di dunia maya, bahkan di dunia nyata. Kriteria pembuktian itu berbunyi: "no pics berarti hoax". Menurut kriteria ini, foto-foto menentukan hoax atau tidaknya sebuah upaya pembuktian.
Saya sudah lama mengamati beredarnya kriteria pembuktian tersebut di Kompasiana baik dalam bentuk artikel-artikel maupun komentar-komentar. Untuk kasus semisal penghinaan terhadap Jokowi dulu, orang menuntut bahwa membahas mengenai hal itu harus disertai foto-foto. Jika tidak, maka itu dianggap hoax (bnd. diskusi di tulisan ini).
Kriteria di atas pula yang terasumsikan oleh orang-orang yang mengedarkan foto-foto [rekyasa?] Abraham Samad dan Putri Indonesia yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Dan karena kriteria itu pula, orang-orang cenderung percaya bahwa rumor tersebut dapat dipercaya. Intinya, sekali lagi, opini publik terbentuk dengan menggunakan foto-foto sebagai kriteria pembuktian.
Saya kira kita perlu diingatkan untuk mewaspadai pengasumsian kriteria pembuktian di atas sebaga upaya pembuktian maupun sebagai dasar untuk membangun opini publik.
Sebelumya, saya ingin memperjelas bahwa saya tidak menafikan signifikansi foto-foto dalam upaya pembuktian akan kasus-kasus tertentu. Tetapi, menjadikan foto-foto sebagai kriteria penentu hoax atau tidak, merupakan sebuah kesalahan logika (logical fallacy). Akan saya perlihatkan di bawah ini.
Pertama, kriteria itu sebenarnya menolak dirinya sendiri (self-refuting). Ia menolak dirinya sendiri karena tatkala ia menuntut bahwa foto-foto harus menjadi kriteria pembuktian, kriteria itu sendiri tidak didukung oleh foto-foto untuk membuktikan bahwa kriteria itu benar.
Kedua, adanya foto-foto tidak pasti berarti bahwa itu bukan hoaks. Kita mengetahui bahwa sekarang ketrampilan mengedit foto-foto yang didukung oleh berbagai softawares yang bisa merekayasa foto-foto sehingga terlihat asli sudah sangat canggih. Itulah sebabnya, ketika ada foto-foto tertentu yang dilemparkan ke publik entah untuk menyerang reputasi seseorang atau untuk membuktikan sebuah kasus, foto-foto itu sendiri mesti diteliti lagi soal keasliannya.
Dan ketiga, foto-foto itu sendiri mesti diinterpretasikan (ditafsirkan) untuk membuktikan sebuah isu atau kasus. Misalnya, beberapa waktu lalu beredar foto Abraham Samad yang menggunakan masker kemudian ditafsirkan sebagai bukti adanya pertemuan bermotif politis yang melanggar kode etik sebagai Ketua KPK. Adanya foto-foto itu tidak serta merta membuktikan bahwa ada pembicaraan bermotif politik. Foto-foto itu paling banter, jika asli, hanya membuktikan bahwa pernah dalam satu waktu (entah kapan) ada pertemuan tertentu yang dilakukan Samad dengan menggunakan masker. Hanya itu. Artinya, foto-foto itu tidak berbicara pada dirinya sendiri secara jelas untuk membuktikan sebuah kasus. Foto-foto itu mesti ditafsirkan oleh pihak-pihak yang berkompeten dan yang terkait dengannya.
Jadi, di samping memperlihatkan foto-foto itu pada taraf tertentu dapat dianggap sebagai bagian dari upaya pembuktian, namun foto-foto itu sendiri bukan penentu hoax atau tidaknya sebuah upaya pembuktian. Ia hanya unsur penguat, namun bukan kriteria penentu pembuktian.
~Salam Kompasiana~