Lihat ke Halaman Asli

Nararya

TERVERIFIKASI

Tentang "Mulutnya" Ahok

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bulan November 2013 yang lalu, secara berjamaah orang menghojat "mulutnya" Ahok karena menggunakan kata "calon bajingan" bagi sekelompok remaja yang membawa celurit kemudian membajak bis kota. Mengamati fenomena tersebut, saya menulis sebuah artikel berjudul: "Sekali Lagi tentang Mulutnya Ahok." Dalam artikel tersebut, saya berargumentasi bahwa konteks memang mengijinkan penggunaan kata negatif tersebut, suka atau tidak suka!

Hari ini dua tulisan yang mendapat posisi terhormat di Kompasiana (HL) masing-masing ditulis oleh Kompasianers Ryan M dan Muhammad Armand. Saya pada dasarnya setuju dengan pesan umum dari tulisan Ryan mengenai kehati-hatian untuk menjaga tutur kata. Juga setuju dengan pesan umum dari tulisan Mohammad Armand soal teori psikologi yang digarisbawahinya. Tetapi, saya mendapati sejumlah pokok kritis yang perlu saya tanggapi pada bagian-bagian di bawah ini.

Tanggapan untuk Ryan M

Saya setuju separoh dengan Ryan M bahwa kata "anjing" yang digunakan dalam konteks makian untuk Ahok pada rapat mediasi berujung kisruh kemarin, adalah tidak etis. Bukan hanya itu, umpatan bergaung rasis juga terdengar dari mulut para anggota DPRD DKI Jakarta pada saat itu. Dan karena umpatan-umpatan ini terkait langsung dengan etika, maka harus ditolak pada kesempatan pertama!

Tetapi, saya tidak setuju dengan Ryan M yang menaruh ungkapan "nenek lu" dari Ahok pada level ketidaketisan yang setara dengan ungkapan "anjing" dari mulut oknum anggota DPRD di atas. Ryan M, tampaknya menggunakan jurus "pukul rata" di sini tanpa memperhatikan konteks penggunaan kata-kata itu. Dalam penelusuran saya, ada dua lapisan konteks yang mesti dipertimbangkan (baca di sini):


  1. Ahok menggunakan sebutan itu dalam sebuah catatan atau sebut saja coretan pribadi di atas kertas usulan dana sejumlah Rp. 8,8 triliun dari DPRD untuk sosialisasi pemahaman kepada masyarakat terkait SK-SK Gubernur.
  2. Entah apa pun maksud spesifiknya, lontaran itu adalah luapan kekesalan yang sangat beralasan. Beralasan karena dana sebesar itu masa' hanya mau digunakan untuk sosialisasi pemahaman terkait SK-SK? Sesuatu yang sangat absurd. Dan kekesalan itu juga memperlihatkan nurani yang tidak ingin dana sebesar itu terhambur untuk keperluan yang tidak substansial.


Dua lapisan konteks di atas memperlihatkan bahwa itu bukanlah sebuah ungkapan yang publicly digunakan oleh Ahok bagi para anggota DPRD. Sebuah ungkapan yang mengekspresikan nurani yang bergejolak atas sebuah pengajuan usulan jumlah dana dalam jumlah yang fantastis untuk keperluan yang remeh-temeh. Dan ini sangat berbeda dengan makian "anjing" serta umpatan rasis lainnya yang diungkapkan secara publik bagi Ahok juga didasarkan atas emosi yang tidak beralasan sama sekali.

Dalam koridor konteks di atas, coretan tangan Ahok: "pemahaman nenek lu", mestinya dipahami sebagai "pemahaman absurd" atau jika dikaitkan dengan salah satu fitur lansia, pikun, "pemahaman pikun", pikun akan kebutuhan yang substansial lalu digantikan dengan urusan remeh-temeh.

Untuk kepikunan akan konteks yang substansial di atas dalam rangka memahami "pemahaman nenek lu"-nya Ahok, saya kira Ryan yang menyebut ungkapan ini ungkapan kasar bisa disebut juga: "kasar nenek lu" (dalam arti mengabaikan konteks penting di atas)!

Catatan lain untuk Ryan adalah penggunaan analogi seorang istri yang kedapatan berselingkuh oleh suaminya. Suaminya memutuskan tidak ribut di hadapan anak-anak. Ryan percaya bahwa seharusnya kisruh itu tidak perlu sampai ke rakyat. Seharusnya itu dibicarakan saja secara intern. Ini adalah analogi yang cacat karena transparansi untuk kasus suami-istri tersebut justru tidak diperlukan, sementara transpransi di hadapan publik dalam kisruh Ahok-DPRD DKI Jakarta merupakan sebuah aksioma!

Tanggapan untuk Mohammad Armand

Mohammad Armand mengungkapkan keprihatinannya atas teriakan (scream) Ahok yang menurutnya memberikan teladan psikologis yang buruk bagi anak-anak. Kekhawatiran ini membuat Armand mengusulkan,

Bila anak-anak Anda bertanya di rumah, mengapa orang-orang berpangkat suka berkelahi? Katakan dengan lembut padanya bahwa itu hanyalah sandiiwara, mereka itu temenen, sahabatan bukan musuhan. Artinya, yang kerap bersandiwara itu adalah anak-anak, berteman dan suka berantem-berantem kecil, setelah itu temanan lagi dan saling mencari.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline