Lihat ke Halaman Asli

Nararya

TERVERIFIKASI

Ekuivokasi di Sekitar Kisruh Ahok-DPRD

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1425493037826582247

Saya membaca tulisan menarik dari Kompasianer Ibnu Dawan Aziz (IDA) berjudul: Sesat Pikir Ahok dan Peran DPRD DKI tentang Biaya Siluman. Dalam artikl ini, IDA mengklaim bahwa Ahok melakukan sesat pikir terkait tudingannya mengenai indikasi "dana siluman" dalam RAPBD 2015. Saya hanya akan fokus pada substansi klaim IDA dan tidak membahas beberapa lontaran minor di dalam artikel tersebut.

Rangkaian argumen IDA untuk mendukung klaim di atas, dapat direkonstruksi sebagai berikut:


  1. "Dana siluman" baru terjadi jika RAPD sudah disetujui oleh Mendagri namun di kemudian hari terdapat penyusupan items baru di dalamnya. Karena ini items ilegal, maka ia disebut "dana siluman". Contohnya APBD 2014 yang memang adalah masalah hukum, sedangkan RAPBD 2015 belum menjadi masalah hukum karena belum disetuju Mendagri dan belum ada lobi-lobi politik untuk penggunaan ilegal dari dana tersebut.
  2. RAPD 2015 itu sendiri tidak bermasalah karena [dalam dalam balasan komentarnya kepada Kompasianer Stephanus Jakarta] menurut IDA kata "anggaran" itu sendiri esensinya adalah "kira-kira" maka tidak ada efek negatif di dalamnya.
  3. Ahok melakukan sesat pikir karena ia mengasosiasikan APBD 2014 yang memang adalah masalah hukum karena sudah disetujui oleh Mendagri namun menyimpang dalam penggunaannya dengan RAPBD 2015 yang belum disetujui Mendagri dan pada dasarnya hanyalah "perkiraan dana" yang tidak ada negatifnya.


Substansi argumen di atas ada pada pendefinisian mengenai "dana siluman". Ahok menggunakan istilah "dana siluman" dalam pengertian penggelembungan dana yang ada pada RAPBD 2015 yang tidak rasional karena pencantuman pencantuman harga barang pada RAPBD tersebut sangat jauh berada di atas harga pasaran. Jadi, istilah "dana siluman" di sini merujuk kepada upaya pencantuman harga barang yang sangat tidak rasional dengan harga barang yang bersangkutan di pasaran.

Mengingat fleksibilitas makna kata, maka dalam logika terdapat aturan penalaran bahwa sebuah diskusi hanya dapat terjadi secara bebas sesat pikir jika diskusi tersebut mengacu kepada definisi yang sama. Definisi yang sama yang dimaksudkan di sini adalah definisi yang dikemukakan oleh pembuat klaim (claim maker). Dalam konteks ini, si pembuat klaim adalah Ahok.

Ringkasnya, kedua belah pihak yang berdiskusi haruslah mendiskusikan istilah-istilah kunci di dalam diskusi itu dengan acuan definisi yang sama. Ilustrasinya seperti yang terlihat dalam sebuah gambar sederhana yang saya buat sebagai berikut:

[caption id="attachment_354001" align="aligncenter" width="626" caption="Diskusi non-ekuivokasi/Dok.Pri"][/caption]

Ketika lawan diskusi mendebat posisi claim maker dengan definisi istilah kunci yang berbeda, maka akan terjadi sesat pikir yang dikenal dengan sebutan ekuivokasi (fallacy of equivocation). Ilustrasinya seperti di bawah ini:

[caption id="attachment_354003" align="aligncenter" width="653" caption="Diskusi ekuivokatif/DokPri"]

14254953051049136421

[/caption]

Saya menyebut diskusi ekuivokatif sebagai "diskusi orang tuli". Bayangkan saja ada dua orang (si A dan si B) berdiskusi. Salah satu atau keduanya adalah orang tuli. Si A bicara C; Si B bicara D; sambil Si B ngotot bahwa Si A salah juga sebaliknya.

Dialog imajiner

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah dialogi imajiner yang menggambarkan posisi Ahok vs IDA, sebagai berikut:

Ahok: Ada pencantuman dana menggelembung dalam RAPBD 2015 (dana siluman).
Ida: Itu bukan dana siluman wong Mendagri belum setujui.
Ahok: Gue bicara hal lain koq.
Ida: Itu bukan masalah hukum, wong belum ada lobi-lobian penggunaan ilegal koq.
Ahok: Tunggu pencurinya menggarong dulu ya? Gue mau tutup gerbang dan pasang kawat berarus di pagar supaya pencurinya jangan masuk koq.
Penonton: Ahok, you are cutting the craps!
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline