Lihat ke Halaman Asli

Nararya

TERVERIFIKASI

Identitas dan Diversitas

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Identitas dan diversitas, dua sisi dari satu mata uang kehidupan. Kehidupan ini senantiasa bergerak dalam ayunan dialektis kedua sisi ini.

Saya menggunakan istilah "identitas" di sini dalam referen khusus kepada: agama dan suku. Tentu masih ada referen-referen lainnya. Tetapi, referen spesifik ini rasanya sering memicu gesekan, bahkan bisa lebih serius daripada sekadar gesekan. Maka, saya akan mencoba memberikan sedikit refleksi mengenai hal ini di sini.

Kita berhak dan bisa memilih untuk menganut agama tertentu, tetapi kita tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan dari orangtua atau suku tertentu. Terlepas dari bisa atau tidak bisa memilih, kesukuan dan keagamaan itu membentuk jati diri kita sebagai individu-individu yang dapat membentuk komunitas-komunitas yang sama identitasnya.

Di sisi lain, sebagai bagian dari sebuah society, kita tidak dapat memungkiri adanya diversitas - suku dan agama yang berbeda-beda yang juga membentuk identitas individu-individu lainnya. Sama seperti kita, mereka juga memiliki atau merupakan bagian dari komunitas-komunitas yang bercirikhaskan identitas mereka  sendiri.

Sampai di sini, tak ada yang dapat menyangkali kedua fakta di atas. Suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju, fakta itu ada dan kita harus hidup di dalamnya.

Sayangnya, ada pihak-pihak tertentu yang demi identitas, berupaya sekuat tenaga bahkan meneologisasi (theologizing) upaya mereka untuk sedapat mungkin memangkas atau bahkan sepenuhnya mengeliminasi sisi diversitas dalam sebuah society, katakanlah dalam level kebangsaan. Tuhan "dibuat" bermandat untuk memangkas diversitas dengan upaya-upaya yang bahkan bisa begitu ekstrim, mis. terorisme. Dalam bentuknya yang lebih soft, kita bisa melihat itu dalam upaya-upaya baik secara terang-terangan atau pun secara diam-diam untuk menerapkan syariat Islam pada skala Nasional. Ini adalah upaya yang mengatasnamakan identitas tanpa menghiraukan diversitas. Diversitas dianggap sebagai antitesis dari identitas.

Di sisi lain, ada pula pihak tertentu yang demi diversitas, menolak penegasan identitas. Lihat saja motto dan semboyan teologi Pluralisme. Keunikan dan finalitas klaim-klaim yang berkait identitas, sedapat mungkin ditolak karena dianggap sebagai ancaman bagi diversitas. Mereka memilih melarikan diri kepada sebuah kubangan bernama Relativisme. Di sini, identitas di anggap sebagai antitesis dari diversitas.

Kata kunci untuk kedua sikap di atas adalah resistensi. Fakta yang satu dijadikan acuan untuk bersikap resisten terhadap fakta yang lainnya.

Saya kira, sikap resistensif entah atas nama identitas mau pun diversitas, tetap merupakan sikap yang tidak konstruktif untuk diakomodasi. Tidak konstruktif karena identitas dan diversitas tidak harus dilihat sebagai sebuah antitesis. Keduanya bukanlah dua orang musuh yang hanya memiliki satu pilihan yaitu berjumpa dalam pertempuran di medan laga.

Ada pilihan yang jauh lebih baik untuk melihat relasi identitas-diversitas, yaitu melihat keduanya sebagai sahabat. Sahabat yang karib, malahan. Saya dapat menegaskan identitas saya di tengah-tengah diversitas. Dan saya tidak melihat diversitas sebagai ancaman bagi identitas saya.

Tanpa identitas, kita akan seperti ikan mati yang mengikuti ke mana saja arus kehidupan membawa kita pergi. Tetapi tanpa diversitas, kita hanyalah orang-orang yang memimpikan (atau memfantasikan) sebuah dunia yang tidak pernah ada dalam kenyataan, setidaknya dalam kehidupan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline