Lihat ke Halaman Asli

Nararya

TERVERIFIKASI

Opini dan Argumen, Beda?

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya mengetik postingan ini di HP dan sedang dalam perjalanan, jadi akan sangat ringkas dan tidak detail.

Langsung saja. Jawaban untuk pertanyaan pada judul di atas adalah ya! Opini dan argumen itu beda. Apa perbedaannya?

Opini adalah klaim konklusif terhadap suatu hal. Singkatnya, opini itu interchangeably dengan konklusi.

Argumen berarti satu set premis (proposisi-proposisi sebagai alasan) yang menunjang atau yang mendasari sebuah klaim.

Berdasarkan definisi di atas, opini seharusnya mengandung argumen. Mengapa harus? Harus karena opini dimaksudkan untuk mendapatkan penerimaan dari pihak lain. Dan penerimaan itu baru dapat dikatakan penerimaan yang berdasar, jika dilakukan atas dasar argumen-argumen yang valid dan sound.

Atas dasar uraian di atas, saya memikirkan beberapa implikasi praktis. Pertama, Anda tidak dapat sekadar berlindung di balik kalimat, "Ini kan cuman opini." Betul sekali itu opini, tetapi justru karena opini maka harus ada argumen sebagai penunjangnya. Lain hal kalau Anda menulis reportase!

Kedua, Anda tidak dapat appeal to relativism dengan menyatakan, "Namanya juga opini jadi beda gak apa-apa." Betul bahwa perbedaan pendapat itu tidak apa-apa, tetapi poinnya bukan di situ. Sejauh itu adalah sebuah opini dan bahwa sebuah opini harus ditopang oleh argumen, maka dua opini yang berbeda harus bisa diperlihatkan sama-sama kuatnya di mana. Bahkan jika dua opini bertentangan, maka keduanya bisa sama-sama salah, tetapi tidak bisa sama-sama benar. Hukum non kontradiksi mengharuskan implikasi ini.

Dan ketiga, Anda tidak dapat appeal to subjectivism dengan menyatakan, "Opini itu subjektif, jadi gak perlu argumen". Ini pun adalah opini, namun opini yang salah karena bertentangan dengan definisi-definisi di atas. Betul bahwa ada ranah subjektif, tetapi jika opini itu dimaksudkan untuk mempengaruhi pandangan publik atau untuk mendapatkan persetujuan, maka subjektivitas bukanlah kawan yang solid demi maksud tersebut. Tidak benar bahwa opini itu boleh semata-mata subjektif.

Pertanyaan terakhir, bagaimana dengan opini yang subjektif tetapi mendapatkan persetujuan atau penerimaan dari pihak lain bahkan bisa jadi banyak yang setuju? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, mereka yang setuju itu memiliki opini subjektif yang sama. Ini semisal saya menyatakan bahwa saya suka milkshake coklat lalu Anda mengiyakannya karena Anda pun memiliki selera yang sama.

Kedua, yang paling sering terjadi adalah baik yang mengemukakan opini tanpa argumen objektif maupun yang mengiyakan opini tersebut sama-sama tidak memahami keharusan-keharusan dalam hal beropini maupun dalam hal memberi persetujuan.

Dan ketiga, biasanya juga yang setuju itu hanya ikut arus. Tidak tau mengapa setuju yang penting setuju karena rame-rame sudah setuju.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline