Lihat ke Halaman Asli

Nararya

TERVERIFIKASI

Penyakit BerKomentar yang "Belum Teridentifikasi"

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Berkomentar di dunia maya itu menyenangkan. Tetapi juga bisa menjengkelkan. Di sini saya tidak bicara tentang spamming dan trolling. Hal-hal ini sudah pasti menjengkelkan dan tidak etis. Berbicara tentang hal-hal ini hanya semacam memastikan yang sudah pasti.

Yang saya sorot di sini adalah tendensi dari orang yang muncul untuk "menggugat" sebuah tulisan dengan berkomentar tiada henti seakan-akan ingin memegang "kata akhir" padahal cuma mengulang-ulang poin yang sama dengan kata-kata yang lain. Orang seperti ini, bisa jadi bukan orang yang berkomentar dengan nada yang menjengkelkan. Bisa jadi isi dan intonasi komentar-komentarnya cool.

Tetapi, mengulang-ulang komentar dengan ide yang sama walau dengan kata-kata yang lain, apalagi terus-menerus muncul, itu justru satu bentuk "penyakit berkomentar" yang lain yang mungkin tidak banyak disorot di new media. Bahkan dalam buku terbaru Pepih Nugraha berjudul: Citizen Journalism, karakteristik buruk seperti ini tidak dibahas.

Saya menyebut tendensi di atas sebagai "penyakit berkomentar" karena:


  • Mengkoruposi waktu orang lain untuk meladeni ide yang sama yang dikemas dengan kata-kata yang baru (poin ini sudah dibahas Pepih Nugraha dengan rujukan khusus kepada spamming dan trolling);
  • Isi komentar yang diulang-ulang walau dengan kata-kata yang lain dan sudah dibahas atau dibantah adalah sebuah sesat pikir: argumentum ad nauseam atau disebut juga argument from repetition. Ini adalah sesat pikir karena ia mengasumsikan bahwa ia benar karena mengulang-ulang ide yang sama, maka sesat pikir ini biasanya dihubungkan juga dengan sebuah sesat pikir yang lain yang disebut: proof by asserstion.
  • Efek psikologis dari cara berkomentar seperti di atas juga kontra produktif. Orang menjadi bosan dan kehilangan minat untuk melanjutkan diskusi. Dan mungkin inilah yang menjadi "sasaran" orang yang suka berkomentar demikian. Maksudnya, kalau orang sudah bosan meladeni, maka dia akan memegang "kata terakhir" dan yang memegang "kata terakhir" dialah yang benar. Entah bagaimana dia bisa menikmati sebuah kemenangan palsu dengan melakukan sesat pikir untuk meraihnya? Mual! Efek psikologis yang lainnya adalah bahwa karena melihat komentar dengan ide yang sama diulang-ulang terus, orang lain bisa menjadi jengkel dan akhirnya suasana memanas.


Saya tidak tahu tendensi seperti ini harus disebut dengan istilah teknis yang mana kalau dalam konteks netiket.Tetapi yang jelas, tendensi seperti ini "menodai" etiket dalam berkomentar.

Simplenya, kalau ada yang masih ingin Anda pertahankan dengan argumen yang baru, bikin saja tulisan yang baru daripada Anda bolak-balik dengan ide yang sama di lapak orang sampai yang punya lapak mual. Dengan begini jumlah tulisan Anda bertambah, dan Anda yang menjadi tuan rumah untuk tulisan tersebut. Mengapa sibuk memasak di dapur orang?

Ingatlah, setiap "tuan rumah" itu memiliki batas waktu dan batas kesabaran menerima tamu. Jangan sampai Anda menjadi tamu yang menunggu diusir baru pulang. Malu dong?!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline