Kemarin itu tepat satu tahun aku kehilangan ayahku. Aku ingat, tepat jam 17.30 WIB tanggal dan bulan yang sama dengan kemarin, ayahku dipanggil pulang oleh Tuhan.
Mengenang hari dukacita itu, malam sebelumnya aku tak bisa tidur. Sepanjang malam itu, entah kenapa, kesedihan menguasaiku.
Sampai kemarin sore, saat bareng kedua putraku membersihkan taman belakang rumah, guratan kesedihan itu tak bisa kusembunyikan.
"Dad, sedih ngingat opa, ya?," selidik putra sulungku.
"Gak koq, kenapa?" aku berusaha menghindar. Gak seru kalau suasana cerah sore itu terisi dengan topik kesedihan.
Mendengar jawabanku, putra bungsuku menimpali, "Bang, papa gak sedih. Wajah papa gitu karena kopinya belum datang."
Hahahaha..ada-ada saja timpalan isengnya. Dalam hati aku berguman: "Yang kutabur, itulah yang kutuai." Aku melihat sisi isengku di dalam dirinya.
Rupanya putra sulungku terus memperhatikan wajahku. Aku tahu itu. Aku pikir, luar biasa ketampananku sampe-sampe anaku sendiri memperhatikanku seakan tak bosan-bosannya.
"Dad, you are not a good liar."
Ia berkata begitu sambil tersenyum. Senyuman yang rasanya menguliti kedodolanku. "Kenapa aku begitu bodoh menjwab tidak? Kenapa tidak kujawab saja bahwa aku sedih mengingat almarhum kakek mereka?"
Sambil kuakui bahwa aku memang sedih, aku pun berkata: "Besok Hari Ayah, lho"