Lihat ke Halaman Asli

Nararya

TERVERIFIKASI

Menyorot Sisi Humanitas Kisruh Sawito, Samad dan Hasto

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Musuh terbesar dari diri kita adalah diri kita sendiri"! Inilah tuangan kata-kata penting dari Friedrich Nietzsche dalam bukunya yang berjudul: Thus Spoke Zarathustra: A Book for Everyone and Nobody. Novel filsafati ini tidak seluruhnya simpatik dalam pandangan saya. Namun tema utamanya, the eternal recurrence (pengulangan kekal), menggarisbawahi "ketidakbaruan" banyak hal yang terjadi dalam hidup ini. Kita hidup dari satu pengulangan ke pengulangan lainnya. Dan bagi saya ini menggelitik untuk dijadikan pijak awal menyorot sisi humanitas kasus AS vs Hasto.

Kita memang sempat dikagetkan dengan tulisan "Rumah Kaca Abraham Samad"-nya Sawito. Tulisan yang disundul oleh Hasto kemudian singgah sekarang di Bareskrim Polri atas aduan pelanggaran pasal 36 dan pasal 65 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Sangat mungkin, labuhnya adalah ketukan palu pidana bagi AS setelah sahabatnya sendiri, Supriansa sudah diperiksa kemarin.

Tak mungkin kita tak mengingat soal: ambisi, ketidakpuasan, dan upaya pencapaian tujuan dengan cara apa pun, saat meneropong arena panas yang di dalamnya AS sekarang menggelinjang. Maka kita memang kaget. Kaget atas bungkusan baru dengan isi yang lama. Sebuah pengulangan yang rasanya kita tak butuh diyakinkan dengan daftar contoh-contoh aktual lainnya.

Di sisi lain, jika tanpa kepentingan (saya sangat ragu akan hal ini!), fenomena Sawito adalah fenomena berulang dari mereka yang menggunakan topeng karena tirani kekuasaan. Mereka tak ingin dikenal apa adanya. Mereka sekadar ingin mengatakan apa adanya. Bagi mereka, dikenal apa adanya berarti bahaya. Maka mereka memilih ketersembunyian sebagai wadah untuk menuangkan apa adanya saja. Pun ini bukan fenomena baru setelah beberapa kali di Kompasiana sendiri fenomena heboh yang sama terjadi semisal fenomena Jilbab Hitam. Fenomena yang menghadirkan enigma sekaligus revelasi (penyingkapan).

Sementara itu, Hasto sendiri (juga Sawito jika mereka adalah orang yang sama atau orang yang berbeda dengan kepentingan yang sama), bagi saya adalah pengulangan dari tipologi oportunis. Tipologi tentang orang-orang yang dapat menahan kebenaran asalkan kenyamanan jadi upah. Sama-sama aman. Tak saling mengganggu. Itulah kesepakatannya. Dan ketika kesepakatan ini terusik, mereka tak segan mencuat ke permukaan untuk memperlihatkan borok sang pengusik. Tipologi ini tak pernah peduli dengan kebenaran. Yang mereka pedulikan adalah kenyamanan jika tak terusik dan pembalasan jika terusik. Kebenaran difungsikan sangat kondisional. Kebenaran hanyalah alat saja di tangan mereka, alat untuk membentengi diri sekaligus menghancurkan lawan ketika perlu!

Maka di atas panggung perpolitikan Indonesia saat ini, kita mendapati bahwa Nietzsche benar soal eternal recurrence-nya. Mereka hanyalah pengulangan dari para pecundang yang takluk oleh diri mereka sendiri. Sesuatu yang ribuan tahun sebelum Nietzsche telah ditandaskan oleh seorang Qohellet (Pengkhotbah) hikmat: Tak ada yang baru di bawah matahari. Pun yang dengan getir disuguhkan Hegel bahwa pelajaran terbesar dari sejarah adalah manusia tak pernah belajar dari sejarah!

Kita semua sepakat tentunya bahwa rantai pengulangan itu mestinya terputuskan. Terputuskan sekarang dan di sini. Persoalannya adalah mungkin bukan kita sendiri melainkan orang lain yang akan menyambungnya. Terdengar pesimis memang. Tapi realistis. Hampir pasti di pelupuk mata kita pengulangan seperti ini akan terus terjadi.

Meski begitu, tanpa menafikan pesimisme yang realistis itu, kita masih ada harapan. Harapan karena ada seorang bijak yang pernah berkata bahwa all things for good! Bahkan dari hal-hal buruk yang berulang kali terjadi, kita dapat menjadikannya kesempatan untuk menarik pelajaran baik bagi diri kita sendiri. Setidaknya pelajaran bahwa untuk tak masuk ke dalam rantai pengulangan kekal itu, mestinya kita terlebih dahulu dan terus-menerus mengalahkan diri kita sendiri!

Dalam lensa teropong humanis ini, mestinya lahan panas yang di dalamnya AS dan Hasto sedang bergulat, adalah lahan kita bersama. Kita semua sedang berada di medan laga dengan musuh terbesar dan tersulit yang sama, yaitu diri kita sendiri. Tak tahu bagaimana dengan Anda, tapi saya tak ingin jadi pecundang!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline