Kemajuan teknologi yang cepat di era sekarang pasti berpengaruh pada kehidupan untuk memudahkan berbagai aktivitas orang. Salah satu penggunaan teknologi adalah individu dapat dengan mudah mengakses informasi melalui internet. Penggunaan internet yang paling umum adalah untuk mengakses platform media sosial. Hampir semua kelompok memanfaatkan media sosial, termasuk generasi Z atau gen Z. Informasi dari dataindonesia.id menunjukkan bahwa generasi Z mengakses media sosial lebih sering dibanding generasi lainnya dengan persentase mencapai 48%. Media sosial sangat digunakan oleh generasi Z untuk berhubungan dengan orang lain, bertukar informasi, dan juga sebagai sarana untuk mengekspresikan diri. Hasil dari IDN Research Institute dalam laporannya generasi Z Report 2024 menunjukkan bahwa 73% generasi Z mendapatkan informasi melalui media sosial. Dengan kata lain, generasi Z menjadikan media sosial sebagai sumber utama dalam mencari berbagai informasi.
Generasi Z sering menggunakan media sosial untuk mencari informasi tentang kesehatan mental. TikTok, Instagram, dan YouTube penuh dengan video tentang berbagai topik kesehatan mental. Influencer dan banyak pengguna yang tidak memiliki pengalaman profesional kesehatan mental berbagi pengalaman pribadi mereka. Hal ini menyebabkan apa yang disebut sebagai pengaruh sosial media, di mana orang merasa terhubung dengan pengalaman orang lain dan mulai membuat kesimpulan tentang diri mereka sendiri berdasarkan informasi yang tidak selalu benar. Menurut teori yang dijelaskan oleh sosiolog Daniel Bell, masyarakat modern lebih sering memanfaatkan informasi untuk pengambilan keputusan. Hal ini menyebabkan Generasi Z merasa memiliki lebih banyak kontrol atas kesehatan mereka, karena mereka mengandalkan pengetahuan yang diperoleh dari internet.
Kecenderungan untuk melakukan diagnosis diri di kalangan Gen Z muncul dari kemudahan akses informasi yang cepat. Mereka biasanya mencari informasi tentang kesehatan mental melalui media sosial. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube dipenuhi dengan video yang membahas berbagai isu kesehatan mental. Banyak influencer yang tidak memiliki latar belakang profesional di bidang kesehatan mental, serta pengguna lain yang berbagi pengalaman pribadi mereka. Ini menciptakan fenomena yang dikenal sebagai pengaruh media sosial, di mana orang merasa terhubung dengan pengalaman orang lain dan mulai menarik kesimpulan tentang diri mereka sendiri berdasarkan informasi yang tidak selalu akurat.
Namun, hal ini juga memiliki dampak buruk. Karena salah pemahaman dalam menerima informasi atau bisa menyebabkan diagnosis yang tidak tepat. Dalam sisi sosiologi kesehatan, hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran mengenai munculnya kecenderungan untuk menganggap semua masalah sebagai isu medis. Fenomena ini dapat membuat Gen Z merasa bahwa mereka mengalami masalah kesehatan mental atau fisik yang sebenarnya tidak mereka rasakan. Tetapi, dampak baik yang dapat dilihat adalah selfdiagnosis bisa menjadi langkah pertama untuk mengetahui gejala dan lebih memahami tentang kondisi diri. BanyakGen Z memanfaatkan metode ini untuk lebih memahami diri mereka sendiri dan keadaan kesehatan mental mereka. Akan tetapi tetap saja, tanpa bantuan ahli dibidang nya, diagnosis diri bisa memperburuk keadaan mereka atau menimbulkan kecemasan yang tidak diperlukan.
Perilaku selfdiagnosis bisa dianggap sebagai respons terhadap keterbatasan akses cepat dan murah ke layanan kesehatan. Proses mendapatkan bantuan medis membutuhkan banyak waktu dan biaya di banyak negara, termasuk Indonesia. Dilihat dari sudut pandang sosiologi struktural, pola perilaku yang disebabkan oleh keterbatasan akses ini menyebabkan orang mencari caranya sendiri untuk mengetahui tentang kesehatan kesehatan mereka, meskipun dengan risiko yang tinggi tanpa masuk dari orang ahli. Media sosial mempunyai peran positif maupun negatif dalam fenomena ini. Di satu sisi, ia menawarkan dukungan emosional serta wadah untuk Gen Z yang mungkin yang tidak punya tempat untuk mencari tahu secara langsung. Di sisi lain, media sosial juga menyebarkan berita yang belum valid, sehingga orang harus tetap waspada dalam memilah apa yang mereka baca dan dengar. Hal ini menimbulkan tantangan bagi Gen Z untuk mengelola dukungan sosial dan bahaya informasi yang tidak benar.
Untuk menjawab masalah ini, proses seleksi berita yang baik dan edukasi kesehatan yang aktif harus dilakukan oleh pemerintah atau lembaga terkait. Keluarga, sekolah, dan institusi kesehatan harus bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya diagnosis profesional. Selain itu, Generasi Z harus diajarkan cara berpikir kritis agar mereka dapat memilih apa yang mereka lihat di internet dan dapat memilah mana yang baik dan mana yang buruk untuk dirinya sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI