Tahun 2020-2021 seolah menjadi tahunnya Extended Producer Responsibility (EPR). Karena di tahun-tahun itu banyak sekali pihak membahas EPR.
Webinar, diskusi, dan dialog-dialog umum dilakukan untuk membahas EPR. Tujuannya menyongsong 2022. Tahun di mana EPR rencananya akan diterapkan di Indonesia.
Tahun ini masih belum ada lagi yang membahas EPR. Mungkin lelah karena EPR di Indonesia tak kunjung jelas juntrungannya. Kenyataannya, memasuki 2022 rencana itu belum ada kabarnya. Namun, tahun 2022 masih panjang hingga nanti 31 Desember 2022. Mungkin di detik-detik terakhir itu penerapan sistem pertanggung jawaban produsen pada sisa produknya (sampah) akan diterapkan.
Atau, tak ada lagi yang bahas EPR karena banyak wacana dan berita tentang produsen yang akan rugi jika EPR diberlakukan. Produsen bahkan mengancam angkat kaki dari Indonesia jika Indonesia menerapkan EPR.
Selama ini yang membahas EPR antara lain adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan yang terafiliasi dengannya. Wacana dan berita tentang ancaman produsen akan angkat kaki jika EPR diterapkan dipercaya begitu saja. Karena pihak ini tak punya taring untuk berhadapan dengan dunia usaha. Dalam hal ini produsen yang produknya menghasilkan sampah.
Tantangan atau ancaman produsen begitu tak mungkin dialamatkan pada pihak lain. Misalnya, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, atau Kementerian Koperasi dan UKM. Karena tantangan dan ancaman itu akan diterima. Produsen yang tidak mau bertanggungjawab pada sampahnya silahkan minggat dari Indonesia.
Reaksi berbeda itu muncul karena tiga kementerian itu adalah pihak yang punya taring pada dunia usaha. Tiga kementerian ini tahu betapa butuhnya perusahaan-perusahaan besar produsen pada Indonesia sebagai pasar. Dan tahu betul bahwa, jika produsen-produsen itu angkat kaki dari Indonesia, maka peluang itu akan jadi milik pengusaha dalam negeri.
Lagi pula, alasan produsen takut pada penerapan EPR di Indonesia sama sekali tidak masuk akal. Produsen juga tahu betapa tidak masuk akalnya alasan mereka takut pada EPR. Sebab, mereka sama sekali tidak dirugikan. Produsen justru diuntungkan.
Meski tak masuk akal, produsen tetap berusaha memviralkan alasannya tentang penolakan atau ketakutannya pada penerapan EPR. Mereka tahu, orang Indonesia malas membaca regulasi dan takut diancam akan ditinggalkan.
Tak Ada Regulasi Sebut EPR