Seperti bidang-bidang lainnya, teknologi pengelolaan sampah seharusnya terus berkembang. Tidak stagnan dengan pola itu-itu saja.
Dulu masyarakat bebas membuang sampah ke selokan, sungai, laut, pinggir-pinggir jalan, dan lapangan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Ada juga yang memilih membakar sampahnya.
Tahun demi tahun berlalu. Membuang sampah sembarangan dilarang. Begitu juga membakar sampah, dilarang. Dampak membuang dan membakar sampah ternyata berbahaya. Apalagi sampah yang dibuang atau dibakar semakin banyak.
Kemudian muncul ide tempat sampah komunal. Tempat pembuangan sementara (TPS). Lokasi yang dibuat cukup besar untuk pengumpulan sampah yang selanjutnya akan diangkut petugas sampah dari pemerintah menuju TPA.
Di sejumlah daerah, dibangun tempat-tempat sampah kecil di depan setiap rumah untuk menampung sampah. Ada yang dibuat permanen dan ada juga yang disediakan tempat sampah yang terbuat dari ban bekas.
Sampah bercampur, dikumpulkan lalu diangkut dan dibuang ke TPA.
Waktu terus berjalan. TPA kemudian overload. Umurnya kian pendek karena semua sampah masuk dengan volume yang tidak terbatas.
Meski demikian, di seluruh Indonesia hanya 29 persen sampah masuk TPA. Sisanya masih tercerai-berai.
Dari sini muncul ide pengelolaan sampah di rumah tangga dengan cara pemilahan. Antara sampah organik dengan sampah anorganik. Gerakan ini muncul sekitar 2016. Tujuannya untuk mengurangi volume sampah masuk TPA.
Bersamaan dengan itu dibuat juga program bank sampah dan TPS 3R (recycle, reuse dan reduce). Agar sampah yang terpilah bisa dijadikan sumber daya ekonomi.