[caption caption="Foto dok. Lukman Hakim | Bersama anak-anak PAUD Kenanga"][/caption]
Kalem, begitulah tanggapan saya saat pertama kali mengenal sosoknya, 6 tahun lalu. Saat itu saya sedang mencari komunitas homeschooling, sebagai persiapan untuk memberikan pendidikan secara mandiri pada calon anak saya. Biarpun terlihat kalem, jangan ditanya saat dia sudah berada bersama anak-anak. Dia bisa berubah menjadi "cerewet", lincah dan sangat ceria saat bersama anak-anak. Begitulah dia, sangat menyukai dunia anak-anak dan selalu berpikir untuk memberikan lingkungan yang nyaman dan menyenangkan bagi anak-anak.
Lukman hakim, berlatar pendidikan teknik arsitektur. Memiliki pekerjaan mapan di Jakarta. Setahu saya, arsitek itu bayarannya mahal lho. Tapi dia memilih meninggalkan pekerjaannya, kembali ke kota kelahirannya di Malang. Nggak sreg, tidak nyaman. Itulah alasan yang dikemukakan pada saya, saat saya menanyakan asalannya meninggalkan pekerjaan itu.
Dia merasa galau, mengamati dunia pendidikan, mengamati anak-anak. Anak-anak yang di sekolahnya merasa tak nyaman, anak-anak yang setiap hari duduk manis, dijejali beraneka macam hapalan, diberi aneka tugas rumah. Tak ada lagi waktu untuk bermain. Menurutnya, pendidikan tak seharusnya seperti itu. Anak-anak harus dibuat senang dulu ke sekolah, kalau sudah senang barulah ilmu pengetahuan di berikan. Cara memberikannyapun tidak harus dengan menyuruh anak-anak duduk diam di kelas, bisa dengan beragam aktivitas di luar ruangan.
Dia memilih untuk mendidik sendiri anaknya, menjalankan homeschooling bagi buah hatinya. Bukan perkara yang mudah, karena cibiran dan tentangan bukan hanya dari masyarakat sekitarnya, tetapi juga dari keluarga besarnya. Kakek nenek mana sih yang ketika ditanya "cucunya sudah kelas berapa?" akan mengatakan "cucuku tidak sekolah". Saat itu, sekolah di rumah adalah sesuatu yang asing. Itu sama saja dengan tidak sekolah. Tidak sekolah artinya akan menjadi anak bodoh. Tidak menyekolahkan anak berarti orang tua yang tidak bertanggungjawab.
Cibiran dan tentangan itu tidak pernah mematahkan semangatnya. Justru menjadi pemicu untuk lebih banyak berkarya, agar dapat membuktikan, bahwa walau putranya tidak menempuh pendidikan formal, putranya akan tetap menjadi anak terpelajar. Akan tetap menjadi orang sukses di masa depannya.
Bersama beberapa orang yang memiliki kegalauan yang sama, terbentuklah komunitas DOLAN pada tahun 2007. Komunitas ini dibentuk untuk memberikan pendampingan bagi anak-anak yang merasa tidak nyaman di sekolah karena beberapa hal, yaitu sistem yang berlaku di sekolah, tidak nyaman dengan guru, dan bahkan anak-anak korban bullying. Namun karena kesibukan para personelnya, satu persatu mereka meninggalkan komunitas itu, tinggallah Lukman saja yang bertahan.
Lukman pun lalu mengganti nama komunitasnya dengan nama SEKOLAH DOLAN. Dolan berasal dari bahasa jawa, yang artinya main. Ya, sekolah dolan. Dolan yang tidak sekedar bermain, dolan yang bisa menambah wawasan. Lewat dolan, anak-anak bisa memperoleh banyak pengetahuan. Dolan ke gunung, pantai, alun-alun, museum, puskesmas, perpustakaan. Lewat sekolah dolan, Lukman ingin menyampaikan pesan pada anak-anak, bahwa ilmu itu ada di mana-mana, bahwa ada banyak sumber belajar, bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar, bahwa anak-anak dapat mencari ilmu sendiri, dengan kreativitas dan arahan orang dewasa di sekitarnya.
[caption caption="Foto dok Lukman Hakim | Anak-anak belajar banyak hal di alun-alun Malang"]
[/caption]
Di mana tempat berkumpulnya anak-anak sekolah dolan? Saat awal berdiri, kumpul dan belajarnya di dalam mobil box, lalu pindah ke garasi, dan kini menempati sebuah rumah di daerah Tidar, Malang. Kalau tempat belajarnya sendiri sih, bisa di mana saja. Terminal, mall, perpustakaan, taman, rumah.
[caption caption="Foto dok Lukman Hakim|Usai jalan-jalan di mall, anak-anak harus membuat laporan"]
[/caption]