Lihat ke Halaman Asli

Tawamu Membunuh Kreativitasnya

Diperbarui: 6 Januari 2016   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seharian babang asyik dengan kertas-kertas dan pensil warnanya. Mumpung dia diem, saya pun asyik dengan kesibukan saya beres-beres rumah. Usai beres-beres, babang masih juga asyik. Saya pun penasaran, ingin tahu apa yang dilukisnya. Saya lihat beberapa coretannya, ada beberapa yang nyaris meledakkan tawa saya, namun berhasil saya tahan.

Tahu saya ada di dekatnya, dia pun lalu menunjukkan lukisannya dan berkata "Bagaimana kalau lukisan ini kita jual". Saya pun terdiam sesaat. Saya lihati lukisannya, sambil membatin, siapa pula yang mau beli lukisan anak kecil kayak gini? Ingin tertawa sebenarnya, mendengar niatnya untuk berjualan lukisan itu. Namun, sekali lagi saya berusaha menahannya.

Saya teringat, dulu, jaman saya kecil. Sering saat saya berinisiatif, malah ditertawakan orang-orang dewasa di sekitar saya. Akhirnya saya pun menjadi pasif, menerima saja apa kemauan orang-orang dewasa. Dan sampai kini, saya lebih sering menjadi orang yang pasif, menurut saja apa kata orang di sekitar saya. Bisa jadi inisiatif saya sudah mati. Benarkah? 

Sesungguhnya, saya masih bisa berinisiatif. Saya masih bisa berkreasi. Tapi dalam otak saya sudah tertanam kuat, "ah paling juga nggak ada yang menghargai... ah, paling juga malah ditertawakan... ah, bisa jadi saya malah di bully..." 

Besar sekali ternyata dampaknya bukan. Saya kecil yang sering ditertawakan jika berinisiatif, berkembang menjadi saya besar yang malas untuk mengungkapkan inisiatifnya. Yang takut dan selalu berprasangka jelek terhadap tanggapan orang pada diri saya. Yang lebih banyak berdiam diri dan melihat saja orang-orang berkreasi di depan mata saya.

Saya nggak ingin hal ini juga terjadi pada anak-anak saya. Jadi, saya tak ingin mentertawakan lukisannya. Saya tak ingin mentertawakan niatnya untuk menjual lukisannya. Tapi jika saya iyakan, apa jadinya?

Jika saya mengiyakan, maka segera saja dia akan ribut mengajak saya berkeliling. Ke tetangga, ke pusat keramaian yang dikenalnya, untuk menawarkan lukisannya itu. Saya sendiri tak siap untuk menerima tatapan aneh dari orang-orang yang bakal ditawari lukisan. Saya sendiri tak siap jika ada yang nyinyir dan menganggap saya memanfaatkan si bocah untuk kepentingan saya.

Jadi, bagaimana solusinya??

Dan saya pun mendapatkan ide untuk memanfaatkan gadget. Berhubung babang juga sudah lancar menggunakan gadget, kenapa tidak sekalian diajari memanfaatkan gadget untuk berpromosi?

Jadilah, babang sendiri yang memilih. Diantara nama-nama dalam daftar kontak saya yang dikenalnya untuk ditawari lukisannya itu. Saya minta babang sendiri yang menawarkan. Saya hanya duduk disampingnya. Mengawasi apa yang diketiknya.

Memang, dari beberapa orang yang ditawari, tak ada satupun yang mau membeli lukisannya. Namun, babang sudah puas karena berhasil menawarkan lukisannya. Puas karena ada yang memujinya. Puas karena ada yang memberi saran untuk lebih memperbaiki lukisannya. Babang jadi lebih bersemangat untuk belajar melukis lagi. Dan siapa tahu keinginannya saat ini untuk menjadi "seniman yang mendaki gunung", suatu saat kelak bisa tercapai.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline