[caption id="attachment_100541" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS)"][/caption] Seminggu yang lalu, kami berkunjung ke rumah seorang kawan (tepatnya kawan suami saya). Menjalin silaturahmi dapat memperlancar rejeki. Dengan berbekal prinsip itulah kami berkunjung. Ngobrol ngalor ngidul sambil minum teh ditemani singkong goreng dan keripik pisang. Tiba-tiba tuan rumah menghela napas. Ada keheningan sesaat sebelum dia mengungkapkan sesuatu, yang sepertinya dari tadi dia pendam. "Ada kenalan yang mau jadi PNS nggak?" Kalau teman yang pengen jadi PNS sih buanyaak. Kenalan yang masih berstatus pegawai honorer juga banyak. Kalau pertanyaan ini saya teruskan ke mereka, saya yakin mereka akan dengan bersemangat menjawab MAU!!!!. Ya pasti maulah. Siapa sih yang mau jadi tenaga honorer terus-terusan? Bahkan sampai pensiun, kecuali orang-orang yang punya jiwa pengabdian tinggi. Dan orang kayak gini, jumlahnya mungkin saat ini bisa dihitung dengan jari. Jadi semangat nih mau kasih tau teman-teman. Namun, kelanjutan ucapan kawan saya tadi, membuat semangat saya luntur. "Saya bisa bantu, dan dijamin JADI dan DIANGKAT PNS. Kalau pendidikan S1 cukup 100 juta saja". Weeek! 100 juta itu uang semua?? Lalu mulailah saya tertarik untuk mengorek keterangan lebih jauh mengenai 'bisnisnya' ini. Dia lalu cerita bahwa sudah 3 tahun ini dia menjalani 'bisnis' ini. Berawal dari kedekatannya dengan orang pemda. Sering bantu-bantu kegiatan disana hingga akhirnya semakin kenal banyak orang disana. Lalu ada yang nawari untuk cari orang. Dengan biaya sekian juta, maka pasti diangkat jadi PNS. Bagian dia sebagai pencari berapa persen? Di tahun pertama dia dapat dua mangsa yang sanggup membayar. Memang benar keduanya diangkat. Imbalannya? Imbalan yang diminta teman saya bukan uang, tapi permintaan agar istrinya, yang kebetulan juga ikut tes CPNS diluluskan juga. Jadilah istrinya lulus tes, diangkat jadi CPNS dan tanpa membayar tentunya. Ditahun kedua, dia dapat 5 mangsa. Kesemuanya jadi. Dan imbalannya? Sayangnya, teman saya tak mau mengaku berapa besar bagian yang dia terima. Ditahun ketiga, wilayah operasinya diperluas. Kini dia 'membawahi' empat kabupaten. Jadi si calon yang bersedia membayar, nantinya dapat memilih untuk ditempatkan di wilayah yang diinginkannya. Siapa orang pemerintahan yang memback-up teman saya itu? Hanya senyum jawabannya sambil mengangkat dagu dan diarahkan ke suami saya. Sebagai isyarat bahwa suami saya sudah tahu siapa oknumnya. Namun ini jadi rahasia. OK lah kalau memang rahasia, saya tak akan memaksa. 100 juta untuk jadi PNS. Kalau saya sih mending uangnya di belikan tanah. Dikampung saya kan tanah masih murah. Bikin kolam ikan, sebagian ditanami berbagai sayuran. Jadi deh jurangan sayur dan ikan. Ada tambahan modal lagi bisa buat bikin pemancingan + warung makan diatas kolam. Nikmatnya hidup di desa, jadi pengusaha dan bisa membuka lapangan kerja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H