Lihat ke Halaman Asli

Anak Kita Mirip Siapa?

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ada rasa senang dan bangga dalam hatiku kala ada orang yang mengatakan anakku mirip denganku. Dan ada rasa cemburu dan tidak senang bila ada yang bilang anakku mirip suamiku. Wajarkah perasaan ini? Anda, yang sudah memiliki anak, pernahkan juga merasakan hal yang sama?

Kala sedang 'waras' aku sering berpikir, bukankah wajar seorang anak mirip ayahnya, atau mirip ibunya, lantas kenapa pula aku harus cemburu klo ada yang bilang anakku mirip suamiku? Apakah memang anakku sebaiknya mirip aku atau mirip ayahnya? Apakah tak mungkin mirip kakek/neneknya, paman/bibinya, atau mungkin mirip sepupunya?

Kilas balik sebentar ke jaman aku kecil dulu. Waktu kecil, aku sangat senang jika ada orang yang bilang kalau aku mirip bapakku. Hal ini dipicu karena aku melihat sifat-sifat baik bapak. Setelah dewasa, keadaan berbalik, aku menjadi sangat tidak suka jika ada yang bilang klo aku mirip bapakku. Hal ini terjadi karena aku melihat sifat yang tidak baik dalam diri bapak. Jadi ternyata, sebagai anak, aku hanya mau dibilang mirip dengan seseorang dalam hal yang menurutku baik.

M Scott Peck dalam bukunya Tiada Mawar Tanpa Duri menuliskan hal berikut ini. Sebagian besar orangtua, pada taraf tertentu, tidak dapat mengenali atau menghargai sepenuhnya kepribadian atau ‘kelainan’ anak-anak mereka yang begitu unik. Banyak sekali contoh-contoh yang dapat kita amati. Orangtua kerap bercerita tentang anaknya, “Dia benar-benar anak bapaknya.” Orangtua juga kerap berkata kepada anaknya, “Kau persis sekali dengan pamanmu Jim,” seakan-akan anak-anak mereka tersebut merupakan ‘copy genetik’ diri mereka atau anggota keluarga lainnya. Padahal kita tahu bahwa kombinasi genetis itu sedemikian rupa sehingga setiap anak, secara genetik, sangat berbeda dengan orangtua dan nenek moyang mereka.

Nah, ternyata setiap anak itu bisa jadi merupakan perpaduan genetik dari orang tua dan nenek moyangnya! Jadi para orang tua tidak seharusnya 'memaksa' anak untuk menjadi cermin dirinya kala muda dulu ataupun saat ini. Misal, ada seorang ibu yang sangat suka warna merah, maka ia membelikan baju, tas, sepatu untuk anak perempuannya kebanyakan serba merah juga. Tanpa pernah menanyakan pada anaknya itu, apakah dia juga suka dengan warna merah.

Atau kisah lain. Seorang bapak yang sangat hobi olahraga, penggila sepakbola. Lalu dia menghendaki anaknya juga menyukai hobinya itu. Ingin anaknya menjadi pemain sepakbola. Padahal anaknya itu sangat suka membaca dan menulis dan bercita-cita menjadi penulis.  Si anak mungkin tak berani terang-terangan menolak keinginan ayahnya untuk selalu ikut latihan disebuah sekolah/klub sepakbola. Maka ia memilih cara memberontak, tak berangkat latihan. Atau berangkat, tapi tak ikut latihan.

Nah, agar anak tidak terjebak dalam 'kekacauan' karena harus menuruti kemauan orang tua dan orang tuapun tidak merasakan 'kekecewaan' karena anaknya tidak seperti yang dia harapkan, ada baiknya kita simak tulisan dari Kahlil Gibran ini

Anakmu Bukan Milikmu

Kahlil Gibran

Anakmu bukan milikmu
Mereka putra putri yang rindu Pada diri sendiri
Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau,
Mereka ada padamu, tapi bukan hakmu.
Berikan mereka kasih sayangmu, tapi jangan sodorkan Bentuk pikiranmu,
Sebab mereka ada alam pikiran tersendiri.
Patut kau berikan rumah untuk raganya,
Tapi tidak untuk jiwanya,
Sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat boleh kau kunjungi sekalipun dalam impian.
Kau boleh berusaha menyerupai mereka,
Namun jangan membuat mereka mnyerupaimu
Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
Pun tidak tenggelam dimasa lampau.
Kaulah busur, dan anak-anakmulah
Anak panah yang meluncur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan kekuasaan-Nya,
Hingga anak panah itu melesat, jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.

Semoga kita dapat menghargai dan mengerti bahwa setiap pribadi itu unik. Semoga tak ada lagi orang tua yang memaksa anaknya untuk menjadi seperti dirinya

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline