Lihat ke Halaman Asli

Nana Sutisna

sang Pemandang

Antropologi dan Diskursus Poligami

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

science versus dogmatis: Dalam Discourse Poligami

Diskursus poligami masih menjadi kontestasi wacana di masyarakat kita, sepertinya kita kembali ditarik pada perdebatan pertengan masa rezim orde baru dalam hal poligami. Perdebatan mengenai poligami menjadi sangat semarak karena berbagai kalangan akan melihat poligami ini sebagai sesuatu hal yang menguntungkan dari berbagai perspektif untuk sebuah kajian analitik dalam melihat poligami ini. Poligami bisa dibawa dalam sebuah konteks yang sangat besar yakni bagaimana Negara ( secular consensus) menerobos pintu-pintu dogmatisme agama, dengan menjadikan agama harus "ditundukan" pada sebuah konsensus sekuler, atau dalam medium yang lebih egaliter bagaimana Poligami ini dibawa dalam permasalahan kesetaraan hak sebagai seorang manusia (laki-laki dan Perempuan) yang melihat pada sisi ketertindasan dan ketidakadilan. Saya akan sangat tercengang lagi ketika hal ini -poligami- menjadi sebuah ketertuduhan sebuah agama, etnik, bangsa mengenai sebuah konsepsi yang dikatakan  "tidak beradab".

Poligami, selalu menjadi sebuah arena perdebatan yang tak berujung, masing-masing mempunyai klaim kebenaran sendiri dan masing-masing mempunyai kepentingannya sendiri, amun dari itu semua ada hal yang memang selalu menjadikan poligami sebagai sebuah "tema" diskusi yang selalu sengit dan sensitif. Dogmatisme versus sciencetific..?  Perdebatan yang sudah sangat afkir namun masih selalu terasa panas. keterkungkungan terhadap dogma sering kali di sebut sebagai sebuah kegelapan berpikir dan ketika diktum-diktum rasional menghampiri bahkan "menendang" dogma dari alam pikir sering kali kita pikir bahwa kita sudah sampai pada pencerahan.

Cerminan Teoritis

Clifford Geertz, interpretatif antropologi, memberikan sebuah kerelatifan ilmiah, membuat kalangan positivisme terhengkang dan bergeser dari kursi tempat duduknya. meaning dan simbol memberikan kita lebih dalam untuk memahami-verstehen dalam epistemnya Weber-sebuah menusia dalam kerangka pikir mikro dan menyeluruh.  Essay-essay Geertz  yang terbukukan dalam Interpretation of Cultures memberikan kita melihat berbagai sistem budaya dalam alam konstruksi pikir manusia. Geertz membuat studi yang mendalam tentang beberapa sistem budaya. Diantaranya adalah, common sense, ilmu pengetahuan (science), kesenian dan agama sebagai suatu sistem budaya.

Saya melihat pada ilmu pengetahuan sebagai sistem budaya dan agama sebagai sistem budaya, mengutif beberapa catatan yang diberikan Dr. Ignas Kleden menganai sistem budaya. Ilmu pengetahuan dapat dikatakan mulai membedakan dunia yang tampak dan kenyataan yang ada di balik penampakan. pengetahuan tentang dunia didasarkan pada realisme kritis, yang ditunjang oleh konsep-konsep formal yang telah divalidasikan dan akan terus teruji. Dalam Science sikap terhadap dunia adalah sebuah sikap kritis dan hipotetis karena konsepsi tentang realitas akan terus di uji.

Agama sebagai sistem budaya, dalam pandangan Geertz mempunyai kedudukan yang sangat khusus. Dalam Science, dunia dipandang dan menghadapinya dengan sikap kritis , maka dalam agama menghadai dunia dengan komitmen, konsep tentang realitas tidak diuji konsep-konsep hipotetis, tetapi melalui kebenaran yang bersifat pasti dan kategoris. kita sangat hapal benar dengan apa yang dimunculkan Geertz bahwa menjadi sebuah model tentang dan sekaligus model untuk dunia yang dihadapi.

Sistem budaya yang ada (ilmu pengetahuan, common sense, agama, seni ataupun lainnya) dapat berdiri sendiri ataupun saling menunjang atau menafikan sistem buadaya yang lain. seseorang dapat mengandalkan satu sistem budaya tertentu, ataupun menggabungkan suatu sistem budaya yang lainnya untuk mendukung suatu sistem budaya yang lain. Dalam segi kebudayaan, orang dapat memilih sistem budaya mana yang paling cock buat dirinya, tanpa harus mengambil suatu sistem buadaya yang disiapkan oleh masyarakatnya. Orang dapat hidup tanpa agama, tanpa ilmu pengetahuan, tanpa seni, tetapi orang tidak dapat hidup tanpa common sense, yang dianggap menjadai dasar bagi sistem budaya lainnya, dan karena itu dianggap sebagai paramount reality.

Keterkaitan
Dengan sangat jelas dalam perspektif interpretatif, menempatkan makna dan simbol sebagai suatu analytical tools dalam memahami sebuah mmasyarakat dalam konteks kebudayaannya. Bicara dalam konteks Poligami masyarakat mempunyai sistem budaya yang dapat memilih mau menggunakan sistem budaya yang mana dalam bersikap untuk menghadapi dunia ini dengan grand narative yang sangat dominan.

Poligami sebagai sebuah wacana memang menjadi sangat hangat karena dalam masyarakat terjadi benturan-benturan dalam sistem budaya. menggunakan konsep Geertz , bahwa benturan benturan itu merupakan ajang pencarian makna, revisi makna dan sekaligus juga penghilangan sebuah makna dan sistem makna. banturan-benturan yang terjadi cendurung untuk menghilangkan sebuah makna.

bagaimana dengan Poligami, benturan yang dengan sendirinya membentuk alur yang rumit dalam revisi dan pencarian makna, sehingga dalam masyarakat kita, cenderung yang terjadi adalah penghilangan sebuah makna. Geertz melihat bahwa hilangnya sebuah makna akan menimbulkan berbagai jenis khoas (kekacauan), Geertz membagi Khaos dalam tiga bentuk. khaos analitis menghasilkan kekacauan. khaos emosional menghasilkan penderitaan. khaos moral menghasilkan kontradiksi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline