Lihat ke Halaman Asli

Nana Sutisna

sang Pemandang

Ilmu Pengetahuan: Ideologis Apa Humanis?

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ilmu Pengetahuan: IDEOLOGIS APA HUMANIS ?

Michel Foucault: “Jangan Tanya Siapa aku, jangan memintaku untuk tidak berubah”

Pada hakekat tingkatan ilmu adalah sejajar tidak ada yang lebih rendah dan lebih tinggi. akan tetapi berbicara teori akan lain, karena proses berpikir seseorang berbeda. Sesuatu yang ideal itu tidak kan pernah berubah, tetapi yang praktis yang selalu berubah. Kita bisa lihat bagaimana Soe Hok Gie (Catatan Seorang Demonstran) berbicara sangat fasih berbahasa Inggris dengan berbicara tentang globalisasi, kapitalisme dan sebagainyadan itu terjadi tahun 60an, tapi ada kah yang berbeda dengan tahun 2000an, kita masih berbicara globalisasi, kita masih bicara kapitalisme, kita masih bicara modernisme, kita masih berbicara yang ideal tentang dunia ini.

Ilmu pengetahuan kalau boleh saya menggunakan perspektif interpretasi budaya dari Clifford Geertz (Tafsir Kebudayaan) tentang kebudayaan adalah “Model Of” dan juga “Model For”. Ilmu pengetahuan masuk dalam “model of reality” suatu acuan tentang penyajian obyek dan begitu pulalah yang ditampilkan oleh ilmu pengetahuan, yang akan bersentuhan dengan kenyataan atau dalam perspektif teori ini dikenal dengan “model for reality”. Dengan berdasarkan pada hal tersebut, maka memang peranan ilmu pengetahuan adalah menciptakan bentuk-bentuk ideal dari tatanan dunia.

Ilmu pengetahuan dapat dikatakan sebagai suatu motor besar sejarah unggulnya ilmu-ilmu rasional atas diktuk-diktum yang berskala transcendental, dapat dikatakan bahwa “dalam revolusi kesadaran” maka akan terselip kemuakan-kemuakan logis atas mistifikasi keduniawian dengan mendapuk amukan-amukan saintifik yang diwariskan oleh leluhur kita.Menurut saya akan sangat mudah di tebak kemudian, bahwa pengetahuan yang menisbatkan dekonstruksi transcendental berhasil membongkar paham hidup manusia menuju dua dimensi sekaligus.

Proyek besar dari ilmu pengetahuan yang membongkar paham hidup manusia, hal ini dalam kalkulasinya Foucault sebagai; pertama, lahirnya kembali manusia yang “sebelum abad ke-19 manusia tidak ada. Manusia adalah penemuan baru….tetapi cepat sekali tua…sepertinya ia sudah menunggu selama ribuan tahun sampai datang penerangan yang membua pada akhirnya ia dikenali…” kedua, Runtuhnya genre manusia itu sendiri yang “mungkin sedang mendekati kematian”.

Menurut saya tidaklah berlebihan, Michel Foucault, seorang Cripto-marxis dan filosop dari Prancis ini mengkalkulasikan ilmu pengetahuan seperti yang disebutkan diatas. Karena dalam perkembangan pengetahuan hingga munculnya post-strukturalis, ataupun post-kolonialisme bahkan Post-Modernisme, sebuah ilmu pengetahuan terlihat tidak pernah terlepas dari adanya hubungan kekuasaan (power relations), atau yang lebih keras adalah seperti yang diungkapkan oleh Edward said (Orientalisme), “bahwa sains akedemik modern pada hakekatnya adalah sains-sains ideologis yang bersifat politis” hal ini lah menjadikan manusia tidak pernah ada dan manusia mungkin sedang mendekati kematian, seperti apa yang diungkapkan Foucault.

Tidak lah terlalu mengherankan jika kemudian Michel Foucault mencoba mencari tahu tentang ide atau ilmu pengetahuan dan pada akhirnya adalah menggugatnya sendiri tentang ide dan ilmu pengetahuan tersebut. Sebuah ungkapan paling masyhur dari Foucault yang kemudian jadi kebanggaan bagi kalangan akademisi adalah Knowledge is Power”. Dalam usahanya tersebut tentang ilmu pengetahuan yang pada akhirnya membawanya pada penggugatan terhadap ide atau ilmu pengetahuan.

Dalam pandangan saya, bahwa ilmu yang mempelajari manusia ataupun membicarakan manusia secara geneologis tidak tiba-tiba lahir begitu saja dalam rahim ilmu pengetahuannya itu sendiri, akan tetapi jauh kebelakang dan merentang ke dalam lubuk keilmuan filosofis yunani, oleh karenanya tidak mungkin menempatkan generalisasi yang menempatkan manusia dalam kanvas tunggal, dan itulah problem keilmuan manusia.

Menggugat ilmu pengetahuan, Foucault sangat percaya bahwa ilmu-ilmu manusia muncul ketika ada upaya mendefinisikan bagaimana sekelompok individu berbicara tentang peradabannya yang mengandung keterikatan sosio-kultural, dalam bahasa Emile Durkheimdikenal dengan konstruksi sosial. Dan kunci ilmu-ilmu manusia bermula dari pemahaman bahasa dan diskursus.

Berbicara ilmu pengetahuan, maka akan terlihat jalan liku mencapai pengetahuan seperti, epistimologi, ontologi, dan sampai pada axiologi. Oleh karena Foucault dalam menelusuri ilmu pengetahuan menyebutnya sebagai arkeologi ilmu pengetahuan, yang menelaah pada bahasa dan diskursus, hal ini dilakukan dalam mengenali monumen masa lalu sebagai capaian masa kini dan selanjutnya menuju masa depan...

Dan akhirnya Michel Foucault (The Archeology Of Knowledge)berkata: “Diskursus bukanlah kehidupan: waktunya bukanlah waktu anda; didalamnya anda tidak bisa berdamai dengan kematian; anda barangkali membunuh Tuhan di balik tumpukan-tumpukan apa-apa yang telah anda katakan; tapi sekali-kali jangan bayangkan bahwa, dengan segala hal yang anda katakan, anda bisa membuat seorang manusia bisa hidup lebih lama dibanding jatahnya”.*sutisna*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline