MEGA - MEGA SAGRADA FAMILIA
Oleh : Dara Ginanti
Sagrada Familia, gereja katolik Roma itu berdiri megah di Barcelona dengan kerlip khasnya. Bangunan yang dirancang oleh arsitek Spanyol bernama Antoni Gaudi ini menjadi pemandangan sehari - hari kedua mata memandang. Ya, disanalah aku berdiri. Spanyol, una grande y libre.One, great and free.
"Licha, ayo cepat selesaikan makan malammu!" suara mama terdengar membuyarkan pesona Sagrada yang tengah dipandang sang gadis. Kaki ini melangkah berdiri membawa sebuah piring kaca bermotif bunga dengan makanan diatasnya yang nampak penuh. Wanita muda itu kembali membuang makanannya ketika seseorang bercelemek sudah berdiri di belakang sambil berkacak pinggang.
"Membuang makanan lagi, cha?" wajahnya kembali memerah untuk kesekian kali. "Kamu tau berapa orang kelaparan di luar sana? Kalau kamu terus melakukan ini, ibu tidak akan memberimu makanan lagi! Jadilah dewasa Lachica, kamu sudah 20 tahun!"
"Sudahlah, ma! Bawel saja jadi orang. Licha mau mengerjakan tugas!" jawab si gadis sambil melewati sang ibu menuju sebuah meja kerja yang langsung menghadap ke arah gereja megah Sagrada Familia. "Lachica anakku, sepertinya kau harus mulai beragama dan mencari tujuan hidup." tangan berminyak sang ibu mendaratkan tepukan ke bahu si gadis berabut ikal yang tengah duduk.
"Sudahlah bu, kan Licha sudah bilang kalo Licha akan tetap atheis sampai berhasil mempelajari semua kitab itu. Jangan paksa Licha untuk ini." tangan si wanita meraih tas hitamnya dan menyambar mantel dengan cepat keluar dari rumah kecil nan sederhana. Derap langkah kaki kini menyusuri jalanan Barselona nan gemerlap dengan gedung - gedung tingginya yang mencakar. Wajahnya tak luput ke kanan dan ke kiri menengok ke setiap ujung mega langit Spanyol hingga tubuhnya sampai ke gereja tempat pandangannya berlabuh. Kakinya menaiki beberapa anak tangga dan kemudian berhenti.
"Di kerumunan makhluk penghisap dollar, aku terlantar. Ada jalan yang diciptakan untuk manusia hina? Bintang saja jatuh di Barcelona, apalagi saya? Huhh." Keluhku dengan kesal sambil kembali menaiki anak tangga gereja itu satu demi satu. Mataku tak lepas menatap gerbang besar diujung tangga sampai seorang laki - laki berkemeja menabrakku dari belakang dan membuatku tersungkur. "Hwaaaa!" aku berteriak sejalan dengan dengkul yang menyentuh lantai tangga. Sakit sekali rasanya.
"Astaga, maaf aku sedang terburu - buru. Maaf!" laki - laki itu membantuku berdiri. Baru saja aku mengeluhkan tentang jatuh, dan sekarang benar aku memang terjatuh. Huh, sepertinya aku sedang dalam mood yang jelek saat ini. "Tidak apa, aku tidak apa - apa." Jawabku seadanya.
"Sungguh maafkan aku, aku sedang sangat terburu - buru nona."
"Tidak apa, aku baik - baik saja disini. Pergilah, lanjutkan urusanmu."