[caption id="attachment_281414" align="alignnone" width="800" caption="*sumber : febdjvbry gallery"][/caption]
Saat aku berusia 9 tahun. Tidak ada yang lebih menyenangkan, selain melihat karnaval di malam hari.Aku dan ibuku bergandengan , berjalan menuju kerumunan orang. Dan diantara punggung orang orang dewasa, keriuhan pasar malam, pedagang pedagang, tukang sulap, dan penjual balon sabun warna warni, tepat disana, aku melihat bianglala..
Balon balon sabun beterbangan, saat aku mendongak untuk melihat lebih jelas ke roda besar yg berputar dan gemerlapan itu. Anak anak seusiaku berteriak , tertawa, dan beberapa tertegun..sepertiku, dengan mulut menganga. Aku ingat lampu lampu warna yang menyala dan bendera bendera kecil yang menghiasiroda ajaib itu.
Dengan gula gula kapas yg masih begitu gemuk ditanganku, aku berlari membeli tiket pertamaku. Aku mendapat tiga putaran untuk satu tiket yang tadi kubeli. Ketika akhirnya menaikinya, aku merasa berdebar debar, senang dan takut. Bianglala mulai berputar, pelan pada awalnya. Lalu semakin tinggi, dan ibu terlihat mengecil dibawahku, seketika jantungku berlompatan.
Aku berhenti melihat kebawah dan mulai menyadari sekelilingku. Aku memandang sejauh mungkin, dan seluruh kota menjadi terlihat mengecil menjadi titik titik cahaya. Aku juga melihat ke atas, bintang terlihat lebih dekat, angin malam membuat tanganku mendingin, dan gula gula kapasku mengecil. Namun yang kuingat, hatiku menjadi hangat.
Ketika saatnya turun, pintu terbuka dan aku harus bergantian dengan anak lainnya. Ibu menggandengku pulang, mengajakku pergi. Aku menoleh kebelakang dan bianglala itu seperti sebuah keajaiban kecil. Raksasa gemerlapan yang mengajarkanku, betapa aku bisa jadi begitu besar dan hal lain tampak begitu kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H