Lihat ke Halaman Asli

Polisi dan Akhir Cerita Cintaku

Diperbarui: 4 April 2017   17:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lantunan Adzan Subuh mengaung nyata di telinga. Kebetulan rumah ku bersebelahan dengan Mesjid di kompleks tempat Aku tinggal. Hanya dinding beton setebal 15 cm saja yang menjadi sekat antara keduanya. Sudah dua hari belakangan ini, alam menampakan kebolehannya. Hujan seolah tak henti-hentinya mengguyur seantero Kota, termasuk komplek tempat tinggal Ku. Pagi itu, cuaca sedikit agak bersahabat, tidak ada hujan atau pun gerimis. Hanya saja pagi itu, terasa seperti berada di Kutub Utara. Suhu dingin seolah menusuk hingga ke tulang belulang. Kondisi demikian membuat raga enggan beranjang dari peraduan empuk tempat tidur Ku, sehinggapanggilan Illahi kala itu pun terabaikan.

Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing………

Waker mini yang berada tepat di atas meja belajar disamping tempat tidur Ku, berteriak lantang, berusaha membangunkan Ku. Ya, usaha sang Waker rupanya berhasil. Masih dalam kondisi mata terpejam, perlahan tubuh yang masih lunglai itu memaksa untuk beranjak bangun. Diikuti gerak lembut jemari mengusap mata agar bisa terbuka.

“Hoaaaaammmm…..”, ya, demikian kebiasan Ku menyapa pagi. Sembari merangkak menyusuri ranjang, Ku raih Waker yang menjadi incaran utama ku. Kemudian, “Plak….”, Ku tekan salah satu tombal, sejenak mesin waktu itu tak membunyikan suara. Berakhirnya suara sang Waker, merupakan awal bagi Ku memulai hari-hari Ku.

------------------------------------------------

Nama Ku, Regina. Bungsu dari 3 bersaudara. Status di KTP belum menikah, status di Face Book berpacaran, sementara Aku kini masih berstatus Mahasiswa semester akhir. Kadang, jika ada yang menanyakan status Ku, yaaaa, Ku jawab saja semuanya, “Aku Mahasiswa, belum menikah tapi sudah punya pacar, lengkap kan? Hehehe,”. Ehm, kalau soal hobby nih, Aku lebih suka sesuatu yang berbau seni terutama musik. Dengar musik, maen musik, ya seperti itulah.

Oke, demikian perkenalan singkat Ku.

Hari ini mungkin akan menjadi hari yang menyenangkan bagi Ku. Tadi, sebelum berangkat kampus, Aku ditelepon sama Irfan, yang Ku pacari sejak 2 tahun silam, mengabarkan jika dirinya akan melamar Ku, setelah menyelesaikan pendidikannya. Belum lagi janji manis Bokap Nyokap, yang nantinya akan memberi Ku Gitar baru jika Aku bisa mengenyam Sarjana ditahun ini. Tak apalah bekerja keras, toh demi kebaikan juga. Dapat gelar Sarjana, punya Gitar baru, terus dapat Suami. Alangkah indahnya hidup Ku euyyyy…hehehe.

Agenda utama hari ini, masih seperti kemarin, ke Kampus. Pukul 10.00 nanti, Aku ada janji dengan Dosen pembimbing untuk konsultasi seputar tugas akhir Ku. Arloji yang setia melekat di tangan kiri Ku menunjukan pukul 09.15. Saat itu Aku masih duduk disebuah bangku, berdampingan dengan seorang bapak tua. Sementara orang-orang disekeliling Ku sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Di tengah kondisi demikian, tiba-tiba saja. “Berhenti…,”. Salah seorang diantara kami berteriak lantang, dengan mata tertuju kepada seorang lelaki yang berada tepat di depan bangku yang Aku duduki. Dengan gesit lelaki itu kemudian melanjutkan teriakan serupa, “Berhenti,” sembari memukul body mobil.

Ya….Tepat di depan sebuah bangunan, Bus yang Aku tumpangi, berhenti dan menurunkan perempuan yang tadinya berteriak. Bus kembali melaju. Namun kali ini tidak se gesit pertama kali waktu bertolak dari halte. Kecepatan Bus mulai melambat.

“Waduh….macet lagi. Ada apa lagi nih ?,”. Bapak tua yang duduk disebelah Ku rupanya mulai terganggu dengan kondisi yang baru saja kami hadapi. Penumpang yang lain pun riuh, berbincang dan mengeluh dengan kondisi kemacetan yang ada. Sementara Aku juga mulai terkontaminasi dengan lingkungan sekitar, namun masih bisa menahan diri. Aku hanya terdiam, sembari melihat ke luar jendela Bus, berharap menemukan jawaban penyebab kemacetan saat itu. Sayangnya, rasa penasaran itu mungkin tak bakalan terjawab. Bus yang Aku tumpangi, rupanya sudah berada di urutan yang paling belakang diantara sederetan puluhan bahkan ratusan mobil yang tengah berjejer di jalan raya itu. Sehingga Aku dan penghuni Bus lainnya tidak dapat menyaksikan apa yang sebenarnya terjadi di luar sana.

Sudah 30 menit lamanya, Bus yang Aku tumpangi tak kunjung malaju. Bahkan mesin Bus pun tetap dalam kondisi mati. Ku tengok sejenak arloji. Kali ini menunjukan pukul 10.00.

“Astaga, Aku ada janji,” Aku pun membatin setelah melihat jarum jam di tangan Ku telah berada tepat di posisi waktu yang telah disepakati antara Aku dan Dosen Pembimbing Ku. Sementara pada waktu itu juga keberadaan Ku masih setengah perjalanan dari Kampus. Tanpa berfikir panjang, segera Ku ambil Hand Phone yang Ku simpan di saku Ransel Ku, dengan maksud menghubungi pak Dosen, meminta memperpanjang waktu pertemuan kami.

Baru saja membuka resleting tas, tiba-tiba Hand Phone berdering. Jelas itu adalah bunyi Hand Phone Ku. Bergegas Ku raba-raba isi dalam tas Ku dan Ku temukan yang Ku cari. “Hallo, ada apa Win?,”…telepon dari Wina, teman Kampus sekaligus Sohib Ku.

“Kamu dimana Gin?,” Wina menanyakan keberadaan Ku.

“Masih di angkot, macet nih. Mana Aku ada janji sama Pembimbing juga, hufffff,”

“Aku baru nyampe kampus nih. Untung saja Aku duluan nyampe dari para demonstran, kalo tidak nasib Ku kini sama seperti kamu, Gin”.

“Hah, demonstran? demo lagi dong,”

“Ia neng, nih anak-anak pada ngumpul, yang laen udah pada orasi tuh. Ada Irwan dan Taufan juga,” terang Wina.

“Trus Kamu mau ikutan demo juga, Win?,”

“Males, Aku lagi dalam masa perawatan, jadi ngak bisa kena panas berlebihan,”.

“Huffff….trus nasib Aku gimana nih. Aku ada janji sama Pak Narto, konsul skripsi Ku,”

“Kayanya hari ini ngak ada aktifitas ngampus, Gin. Nyesel juga Aku ngampus hari ini kalo tahu bakalan kaya gini. Mendingan urungin aja niat kamu, karena ngak bakalan bisa nyampe kampus,”. Mendengar pengakuan Wina, semangat Ku yang awalnya se gede Bumi berubah menjadi sebutir kelereng. Aku pun memutuskan tidak melanjutkan perjalanan Ku ke Kampus. Mengakhiri percakapan Ku bersama Wina, Aku menyampaikan untuk batal ngampus.

Kemudian Ku hubungi pak Narto guna menyampaikan hal serupa seperti yang Ku sampaikan ke Wina. Dengan sedikit kecewa, Aku memilih turun dari Bus yang telah Ku duduki selama kurang lebih satu setengah jam itu. Setelah keluar dari Bus, Aku pun berpindah ke sebuah Taksi yang kala itu melintas berlawanan arah dengan Bus yang Ku tumpangi sebelumnya. Sekitar 25 menit, Taksi berhenti tepat di depan rumah Ku.

“Assalamualaikum,”…

“Waalaikum salam. Udah pulang Gin?,” sapa Mama Ku, yang kala itu menyambut Ku di depan pintu.

“Ia Ma. Macet, teman-teman kampus lagi pada demo,”. Tanpa banyak berbincang, cepat-cepat Aku berlalu dari hadapan Mama, menuju kamar.

Tak ada kegiatan berarti yang Ku lakukan selama di rumah. Aku hanya mengurung diri di kamar, mendengar musik sambil berbaring di atas ranjang. Sementara menikmati lantunan musik, tiba-tiba terdengar suara Mama yang memanggil Ku, sambil mengetuk pintu kamar.

“ada apa Ma?,”

“Gin, liat TV, teman-teman kamu,”….

“Aduh ada apa lagi sih,” Aku mengeluh lantaran merasa terganggu, namun Aku tetap bergegas merapat menuju Mama yang tengah serius memperhatikan TV di ruang nonton.

“ada apa Ma?,”

“tuh liat,”.

“ya ampun,”. Bagai ditampar, sontak Aku terkaget melihat apa yang ditayangkan di TV dalam berita petang itu. Aparat Kepolisian sedang kejar kejaran dengan sekelompok orang, melintas di depan halaman gedung-gedung bertingkat. Gedung-gedung itu tidak asing di penglihatan Ku, karena itu adalah Kampus kebanggaan Ku. Dan lebih kaget lagi, ternyata yang dikejar Polisi adalah orang yang Ku kenal baik. Irwan, sohib karib ku dan beberapa mahasiwa Kampus Ku. Saat itu tergambar jelas, saat pengejaran Irwan dan salah satu mahasiswa tertangkap oleh tiga orang anggota Polisi. Mereka kemudian di pukuli, di tendang dan kemudian di seret. Adegan itu kemudian tidak berlanjut, karena kemudian dilanjutkan dengan penayangan berita lain.

Panik bercampur takut menjadi satu di dalam batin kala itu. Kemudian Ku coba menghubungi Hand Phone Irwan untuk memastikan kondisi dan keberadaan-nya. Namun nomor yang dituju tidak dapat di hubungi. Kemudian Ku hubungi Taufan, namun sama saja, tidak aktif. Tujuan akhir adalah menghubungi Wina. Ya, Aku berhasil menghubungi Dia.

“Win, kamu dimana? Irwan bagaimana, apa yang terjadi, Win?,”……tanpa basa basi Aku langsung ke pokok persoalan.

“Aku…Aku di Kosan-nya Farah, Gin. Kita di kejar Polisi tadi saat di Kampus. Aku terpisah dari Irwan dan Taufan,” Wina terbatah-batah menjelaskan keberadaannya, terdengar seperti sedang ketakutan.

“Terus Irwan dan Taufan sekarang dimana?,”

“Tadi kak Fahri telepon, katanya Irwan tertangkap saat insiden bentrok antar Polisi dan para demonstran. Sekarang Dia di kantor Polisi. Taufan juga demikian,”.

Mendengar apa yang diucap sahabat Ku itu, seolah Bumi runtuh dan tepat mengenai tubuh Ku, melibas tubuh Ku hingga tak berbekas. Ditambah lagi saat menyaksikan langsung adegan kejar-kejaran dan pemukulan yang di tayangkan di TV tadi, membuat adrenalin Ku seketika melonjak naik. Di tengah suasana hati yang berkecamuk dan tak terkendalikan itu, fikir Ku tertuju pada seseorang yang jauh disana, yang tengah mengejar Cita-citanya, yang berjanji akan mendampingin Ku seumur hidupnya, kelak nanti. Ya, Dia lah Irfan yang kini sementara menghabiskan waktunya mengenyam pendidikan Kepolisian.

Perlahan tapi pasti, Ku raih Hand Phone yang berada di atas meja, kemudian mengutak-atik phone book. Tepat pada nama yang begitu familiar, “Irfan-Ku”, kemudian Ku tekan tombol memanggil.

“Hallo Gin, pa kabar?,”….

“Gina…,”. “Gin…,”. “Hallo…,”

Tak ada sepatah kata pun yang dilafazkan Regina. Dia hanya terdiam dan terus menggenggam Hand phone yang masih melekat di telinga-nya. Namun, kemudian………

“Irfan, jangan pernah hubungi Aku lagi. Kita Putus,”……tut..tut…tut…tut…

_Selesai_




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline