Pada kesempatan berikutnya, tatkala membaca lagi tentang Sitti Nurbaya, yang terkenang justru cinta luar biasa yang diberikan SamsulBahri kepada Sitti Nurbaya. Walaupun novel merupakan cerita rekaan, namun Sitti Nurbaya ditulis oleh lelaki bernama Marah Rusli. Novel tersebut diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1922.
Mengapa jika penulisnya lelaki? Sebagai wanita, tatkala pembahasan tentang cinta dan kesetiaan ditulis oleh lelaki, rasa penasaran yang muncul melebihi jika penulisnya sesama wanita. Mungkin ada rasa ingin tahu yang lebih mendalam tentang pendapat kaum lelaki tentang cinta dan kesetiaan. Bagaimanakah cinta versi lelaki?
Penulisan kedalaman cinta SamsulBahri kepada Sitti Nurbaya tentulah tidak akan diungkapkan apabila tidak ada lelaki yang memiliki cinta sedalam itu kepada seorang wanita. Kesan mendalam yang ditimbulkannya sanggup membuat kaum wanita yang kerap kali meragukan cinta lelaki karena seringnya istilah poligami diungkapkan secara terang-terangan dan berulang di tradisi patriarki ini, mencoba mendalami makna cinta atau lebih tepatnya adakah perbedaan "cinta" antara lelaki dan wanita?
Pada akhirnya, bahan bacaan tentang perbedaan cinta antara pria dan wanita, diperoleh penulis dari berbagai sumber, namun yang paling membuat terpukau adalah tulisan penulis senior La Rose( 1984: 7-8) dengan kata pengantar yang sedemikian memikat
"...Semula waktu saya masih muda, saya kira dunia perempuan hanya untuk melahirkan anak, mengurus rumah tangga, dan menerima cinta...memberikan cinta. Saya menyiapkan diri dengan aneka keterampilan menjahit, memasak, kecantikan. Semua itu memang perlu, tetapi agaknya hal itu hanya sebagian kecil saja dari dunia wanita yang amat luas...Tiga puluh tahun silam saya tidak akan berani menulis seperti ini. waktu itu saya masih terlalu muda. Tulisan ini mampu saya kerjakan setelah usia saya melampaui setengah abad...Kalau saja kita mau belajar dari pengalaman orang lain...
Seperti umumnya karya sastra dengan penulis pria, dalam mendeskripsikan sosok wanita biasanya seringkali cantik. Walaupun kriteria kecantikan antara wanita dan pria adakalanya berbeda, tapi tokoh wanita seringkali dilukiskan sebagai wanita cantik. Akan tetapi, bukan semata kecantikan tersebut yang membuat SamsulBahri merasa nyaman berteman dengannya. Sitti Nurbaya adalah gadis puteri tunggal orang berada di Padang, Baginda Sulaiman. Oleh karena itu, tatkala teman sesama perempuan sebayanya tidak bersekolah, ia tetap diizinkan bersekolah oleh ayahnya, berteman dengan SamsulBahri, Arifin, Bachtiar, dan anak-anak bangsa Eropa yang tinggal di Indonesia.
Dalam (Rose: 1984: 63), kebahagiaan wanita berpusat pada kesadaran bahwa ia dicintai dan mencintai. Pria walaupun membutuhkan cinta tetapi rasa harga diri dan kebahagiaan mereka lebih terletak kepada kesadaran bahwa mereka dipuja, dikagumi, atau dihargai. Sitti Nurbaya merupakan teman sekolah Samsul Bahri. Posisinya sebagai anak tunggal yang berarti tidak memiliki kakak ataupun saudara lelaki, atau karakternya sebagai anak tunggal yang pada umumnya manja? Sitti Nurbaya tidak segan-segan bertanya kepada Samsul Bahri manakala ia tidak memahami pelajaran yang diperolehnya di kelas.
"Oh Sam, tadi aku diberi hitungan oleh nyonya Va der Stier, ...sampai pusing kepalaku rasanya tak dapat juga. Bagaimanakah jalannya hitungan yang sedemikian?
"Bagaimanakah soalnya?" tanya si Sam ( Rusli, 1922:5-6)
Walaupun seorang pria memang ingin tampil sebagai pahlawan di mata teman-temannya, namun sesungguhnya ia pun ingin dapat menampilkan diri bak pahlawan bagi wanita yang dicintainya. Begitu mendalam arti kesan ini dalam kehidupannya, apabila ia tidak mendapatkannya, maka ia akan merasa sangat sedih (Rose, 1984:124).
Selain kecantikannya, sikap Sitti Nurbaya yang tidak selalu menunjukkan dirinya lebih pintar daripada Samsul Bahri, lelaki sebaya dan teman sekolahnya, bahkan sesekali ia bertanya tentang pelajaran yang belum dipahaminya, terkesan menawan. Sikap alami yang tanpa disadarinya, sanggup memunculkan cinta mendalam di hati Samsul Bahri.