Aku agak terhuyung di keremangan malam itu. Kantuk mulai menjalari tubuhku, tapi aku belum ingin pulang. Aku masih duduk di situ ditemani makanan kecil, rokok, dan sebotol minuman. Kedua temanku masih asyik menyanyi. Aku hanya menemani tanpa bermaksud bergantian untuk menyanyi.
Pikiranku sedang kacau. Aku mengerti isteriku marah, kesal, kecewa. Aku pun pernah menyampaikan sekilas motif yang membuat ulahku menjadi begini. Akan tetapi, ia tak mau mengerti hati lelaki. Ia malah menuduhku childish, tuduhan yang membuatku semakin sakit hati.
Bahwa orangtuanya tidak mau menerimaku sebagai menantu, itu bukan hal yang bukan tabu untuk dikisahkan oleh keluarga besar mereka. Kisah penolakan yang membuatku malu, mencoreng mukaku, sekaligus membuatku semakin terdorong untuk mendongkrak popularitasku, semata untuk penghapus rasa maluku itu.
"Yang penting aku mencintaimu dan menerimamu apa adanya," jawab isteriku yang memiliki hobi berkesenian sama denganku, tapi ia di bidang seni rupa. Kami memang mulai pacaran sebagai sesama pemilih Fakultas Bahasa dan Seni.
"Pahamilah, bahwa aku hanya menunjukkan eksistensi,"pintaku setengah mengeluh, agak terhuyung ia memapahku yang dalam kondisi setengah mabuk.
"Tapi bukan dengan cara begini. Cara yang membuat mereka jadi semakin benci,"katanya sambil merabahkanku ke ranjang, mengambilkan air hangat untuk kuminum, kemudian menyuapiku karena aku belum makan malam.
"Tidak cukupkah cinta dan kasih sayang yang kucurahkan? Mengapa penolakan kedua orangtuaku atas lamaranmu masih menjadi kenangan? Lupakan. Itu bukan hanya menyikasamu tapi aku bahkan anak kita akan terkena dampaknya."
Ucapan yang bagaikan angin lalu. Aku selalu mengenang penolakan itu sebagai penghinaan. Hal itu menyakitkan. Aku dengan segala upayaku meraih kesuksesan ditunjang kodratku memiliki tampilan rupawan, sungguh tidak selayaknya diremehkan.
"Bukan menghina sih, kan wajar orang tua mengingini menantu terbaik untuk anaknya...
"Tapi aku kan pekerja keras. Aku pun berupaya meraih impian. Tapi aku yakin suatu saat nanti akan terpenuhi."
"Cukup aku yang memercayai. Buktinya aku mau menikahimu walaupun aku sudah lebih dulu berpenghasilan tetap. Anggap saja itu rezeki kita. Asalkan Kamu tidak pernah menyakiti hatiku, selalu meyakinkan aku bahwa Kamu cintai aku." Ia memang lolos mengikuti tes PNS sebagai guru Seni Rupa, sedangkan aku menyanyi dari kafe ke kafe saat kami memutuskan menikah.